Kamis, 03 Mei 2018

Sanggah Kemulan (Rong Tiga) Estetika Hindu


SEKILAS RONG TIGA KEMULAN

1. Dasar Hukum dan Esensi dari Pembuatan Bangunan Kemulan Rong Tiga ditinjau dari Unsur Satyam
Sebagai disebutkan oleh seserang tokoh seni yang berwawasan sepritual yaitu Drs. Ida Wayan Oka Granoka, bahwa agama adalah seni dan seni adalah agama. Seni dan agama indentik. Kreativitas kesenian adalah nyolahang sastra, (dalam Suamba, 2003 : 3). Ungkapan di atas mengisyaratkan pada kita bahwa terdapat kemanunggalan antara seni dan agama di Bali. Pentingya pemahaman secara mendalam dan sungguh-sungguh merupakan cara untuk membedakan antara seni dan agama. Setiap penyelenggaraan yajna pasti ada kesenian dan setiap pertunjukan kesenian pasti mengandung atau memuat ajaran-ajaran agama. Inilah inti kemanunggalannya yang harus dipahami secara mendalam. Jadi seni adalah simbol kebenaran, kesucian, dan keindahan.
Dalam tulisan yang berjudul “Memahami Konsep Estetika para Kawi” dikarang oleh Drs. Ida Bagus Gede Agastya, dikatakan bahwa untuk memahami arti seni atau estetika masih memerlukan ketelitian dalam mensitir ungkapan rasa kagum, atau terpesona para kawi sastra yang terungkap dalam karya sastranya, seperti kata ‘lango” dalam bahasa kawi, mempunyai makna yang khas dan sukar diterjemahkan dalam bahasa lain. Akan tetapi yang ingin digunakan oleh kata itu mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan “rasa terpesona”.
Dalam mencapai rasa terpesona tersebut maka dasarnya haruslah memiliki unsur kebenaran atau satyam. Satyam dalam pandangan Agama Hindu tiada lain memuat tentang sumber kebenaran yang berasal dari kitab suci Veda. Dalam kehidupan umat Hindu di Bali, semua bentuk pelaksanaan yajna, bangunan, dan seni yang bersifat sakral, pasti mengandung unsur tattwa di dalamnya. Mulai dari dasar hukumnya, makna pelaksanaanya, fungsinya dan lain sebagainya. Terkait dengan bangunan kemulan rong tiga adapun unsur kebenaran / satyam yang termuat di dalamnya menyangkut:

1.1  Dasar Hukum Pendirian sanggah Kemulan Rong Tiga
Dalam Lontar Siwa Gama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian dari Hyang Kemulan atau yang dikenal dengan sanggah kemulan rong tiga itu. Kutipan tersebut secara singkat mengupas mengenai pendirian sebuah bangunan suci dalam suatu rumah. Adapun kutipan slokanya antara lain:
“……bhagawan Manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadyadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika, mwang kamulan pangunggalnya sowing……”
                                                                                         (Lontar Sivagama, lembar 328)
Arti kutipan tersebut antara lain:
Bhagawan Manohari pengikut Siwa, beliau disuruh oleh Sri Gondrapati, untuk membangun Sad Khayangan kecil, sedang, maupun besar, yang merupakan beban kewajiban semua orang. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat puluh keluarga harus membangun Panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan yang harus dibangun pada masing-masing pekarangan (Wikarman, 2011: 4-5).
Dari kutipan di atas maka sudah sangat jelas bahwa pembuatan sanggah Kemulan Rong Tiga memiliki dasar hukum yang didasarkan atas pustaka Hindu yang bersumber dari ajaran kitab suci Veda. Setiap keluarga yang sudah memiliki rumah tersendiri wajib untuk mendirikan sanggah kemulan rong tiga yang merupakan pengejewantahan dari ajara Siwasiddhanta di Bali. Hal ini juga di pertegas dalam Pustaka Lebur Gangsa yang dijelaskan ada Praniti / suatu ajaran, bahwa manusia itu dilahirkan sudah membawa candela, membawa gering (sakit), membawa kepapaan, membawa hidup dan pasti akan mati. Karena itu Praniti itu mengajarkan supaya manusia itu membuat “Sanggar Kemulan Rong Tiga” tempat memuja Itu (yang berarti asal kemulan). Itu atau Dat yang dimaksudkan Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita dan memberi kehidupan pada kita (membri amrta) (Bandesa, 1991:20). Dengan demikian sangatlah penting bagi umat untuk membuat bangunan suci sanggah Kemulan Rong Tiga sebagai tempat terdekat dalam melaksanakan pemujaan sebagai ungkapan rasa syukur dan bakti kehadapan asal muasal dari bhuana agung dan bhuana alit ini.

1.2    Sanggah Kemulan Rong Tiga Sebagai Stana Sang Hyang Triatma
Kamulan atau kawitan merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma  berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya (Wikarma, 2011:5).
Beberapa lontar-lontar seperti Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian dan Purwa Bhumi Kamulan menjelaskan bahwa sanggah kemulan rong tiga merupakan asal muasal mulainya suatu kelahiran, sebab kelahiran kembali (Punarbawa) merupakan hukuman yang harus dijalani oleh leluhur turun menjelma sebagai manusia kembali. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri. Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
“Ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang Sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa, meraga sang Hyang Tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Yang artinya :
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada Kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahman, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh/ Tuhan yang menakdirkan (Wikarma, 2011:6).
 Dari petikan sloka di atas jelas menyebutkan bahwa secara umum sanggah kemulan rong tiga di Bali merupakan tempat untuk menunjukan rasa bhakti kehadapan leluhur yang telah senantiasa melindungi dan memberikan anugrah kepada keturunanya. Jika disimak lebih jauh maka antara purusa dan pradana memiliki tempat dan kedudukan masing-masing. Purusa sebagai simbol laki-laki di stanakan di rong sebelah kanan, pradana sebagai simbol perempuan di stanakan di sebelah kiri dan yang ditengah-tengah merupakan stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang. Selanjutnya dipertegas pula berdasarkan Lontar Gong Besi tentang Sang Hyang Triatma yang berbunyi sebagai berikut:
“....ngarania ira sang Atma, ring Kamulan tengen bapanta nga Sang Paraatma ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Madia raganta, Brahma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga...”.
Artinya:
Namanya beliau Sang Atma pada Kamulan sebelah kanan adalah pelinggih bapakmu bernama Paratma. Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Sang Siwatma adalah Ibu, di Kamulan ruang tengah ada wujudnya Brahman menjadi Ibu-Bapak yang berwujud Sang Hyang Tunggal (Wikarma, 2011:6).
Berdasarkan kutipan lontar di atas dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan merupakan tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Atma yang telah mencapai ke alam kedewataan. Adapun tujuan utama, mengapa roh leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar keturunannya dapat dengan mudah menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh leluhur menurut sastra agama sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak pernah berbakti kepada roh suci leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya, maka keturunannya akan menemui kesengsaraan (Winanti, 2009:25-26).
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
“Riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni……” (Wikarma, 2011:7)
Yang artinya :
Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, di sana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dari kutipan ini jelas menyebutkan bahwa ketika seseorang sudah meninggal dunia dan telah diupacarai sampai pada upacara atma wedana, maka roh dari orang tersebut akan di stanakan di kemulan rong tiga.  Roh-roh tersebut diyakini dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. Oleh karena itu untuk menghindari bencana maka leluhur hendaknya dipuja melalui yajna. Maksud dari pada pembangunan pelinggih rong tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar umat selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dan manifestasinya dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rna. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu:
·         Dewa Rna yaitu hutang kehadapan  Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita. Dari hutang ini munculah konsep dewa yajna dan bhuta yajna.
·         Pitra Rna yaitu hutang kepada leluhur, terutama keluarga yang telah merawat dan membesarkan anak-anaknya hingga menjadi dewasa. Konsep ini memunculkan yajna dalam bentuk manusa yajna dan pitra yajna.
·         Rsi Rna yaitu hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai agama, sain, kebudayaan dan lain-lain. Ini melahirkan yajna dalam wujud rsi yajna.
Demikian maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rna itu, yang merupakan yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka, 1993:10).  Selain itu latar belakang timbulnya pemujaan Sanggah Kemulan adalah karena kehidupan beragama masyarakat Bali yang astithi bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi atas kemahakuasaannya, sedangkan kemampuan manusia terbatas, oleh karena itu manusia yang serba terbatas tidak mungkin mampu menjangkau kemahakuasaan yang tiada terbatas itu sedangkan upaya untuk mendekatkan diri pada kemahakuasaan bertujuan agar manusia dapat mendayagunakan kepercayaan dimaksud guna meningkatkan kualitas hidup. Oleh sebab itulah umat Hindu di Bali sangat kaya akan simbol-simbol ketuhanan sebagai wujud dan bhakti kehadapan Tuhan. Gede Sutaba dalam Bali Purbakala (1989:66) Sanggah Kemulan berfungsi sebagai tempat penyatuan antara anggota keluarga yang masih hidup dengan para leluhur yang sudah tidak lagi ada di dunia nyata. Bentuk Sanggah Kemulan sangat terikat oleh ketentuan desa kala patra menyesuaikan keadan ekonomi keluarga dan wangsa dapat dibuat permanen dan juga sederhana.
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa sanggah Kamulan Rong Tiga yang dipuja adalah  roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak  dan lain sebagainya. Kemudian di bagian tengah rongnya  merupakan stana untuk memuja leluhur yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahman, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
1.3    Tri Murti Sebagai Dewanya Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi asal muasal dari proses penciptaan. Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” dapat dikatakan sebagai jiwa atau roh yang menghidupi dan menjiwai mahluk hidup. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Beliau adalah atma tertinggi. Beliau adalah Tuhan menurut sistem yoga. Beliau adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam Upanisad Beliau digambarkan sebagai Tuhan Nirguna Brahma.  Dalam matram Sapta Omkaratma disebutkan sebagai berikut:
Om Am Brahma Atmane nanah : (nabhi)
Om Um Wisnu Antaratmane nanah : (hrdaya)
Om Mang Isvara Paratmane nanah : (pusuh)
Om Om Mahadeva Niratmane nanah : (talu)
Om Om Sada Rudra ati-atmane namah : (brhunadya)
Om Om Sadasiva nikalatmane namah : (Sivadwadra)
Om Om Paramasiva Sunyatmane namah : ujung rambut)
Om Om Atmane namah

Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antaraatma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta yang juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sakala), Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala (Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
“ Om Guru Dewa Guru Rupam
   Guru Madyam Guru Purwam
   Guru Pantaram dewam
   Guru Dewa Sudha nityam”
    Artinya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu”
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Umat Hindu di Bali mengenal konsepsi Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan terhadap Tri Murti, setelah kedatangan Mpu Kuturan. Beliau menyatukan umat Hindu saat itu yang terdiri dari enam sekta besar di Bali yang meliputi Agama Shambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama Wisnu, Agama Bayu dan Agama Kala. Sementara itu Bandesa (1991:19-20) dalam Pustaka Manusa Yajna diterangkan bahwa setelah orang itu kawin atau melakukan pesakapan, mewidhi-widhana, lalu membentuk rumah tangga baru, hendaknya mereka membuat atau membangun sanggah Kemulan Rong Tiga sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Tri Sakti, jadi ini memberi pengertian bahwa manusia itu berasal dari Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Wisnu Siwa). Sementara itu puja mantra yang dilantunkan di Kamulan yaitu Guru Stawa tersebut adalah sebagai berikut:
“Om dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa sadha nityam, sarwa jagatjiwatmanam, Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru pantaranam dewam, guru dewa sudha nityam”
Terjemahan:
Dewa-dewa tiga dewa, Dewa Trimurti yang ada dalam Lingga tiga, Dewa Tri Purusa, yang senantiasa suci yang menjiwai segenap isi dunia. Dewa yang memberi pengetahuan yang memberi wujud, yang memberi bumi tempat hidup, yang menjadi asal mula, yang merupakan dewa di alam sunyata, dewa yang selalu memberikan tuntunan suci (Winanti, 2009:33).
Di era modern ini kebanyakan persepsi masyarakat yang berkembang mengenai Rong Tiga adalah sebagai stana untuk memuja leluhur yang sudah bersih, dan sangat jarang yang mengetahui selain pemujaan terhadap leluhur, Rong Tiga juga berfungsi untuk pemujaan terhadap Sang Hyang Tri Murti. Peran sentral dari Kemulan Rong Tiga ini adalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Bethara Siwa dalam wujud Siwa Guru serta para leluhur yang telah disucikan.
Secara umum lazimnya pemujaan Leluhur di Sanggah Kemulan mengandung makna filosofis yaitu menstanakan Dewa Pitara  atau roh leluhur yang telah mencapai alam kedewaan untuk dipuja pretisentana/keturunannya. Tradisi demikian merupakan ajaran Agama Hindu yang diterima secara turun-temurun oleh masyarakat Bali. Pemujaan Dewa Pitara ini bertujuan untuk membantu manusia menuju bersatunya Atma dengan Paramatma. Lebih jauh Wiana (1989:6) dalam Keputusan Seminar XV Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu dalam makalah Upacara Nuntun Dewa Hyang juga dijelaskan bahwa adanya penyucian terhadap rokh leluhur dan mengenal adanya pemujaan berjenjang sebelum langsung memuja Ida Sang Hyang Widhi keluarga terlebih dahulu melakukan pemujaan kepada rokh leluhur yang telah mencapai alam dewata. Rokh yang telah mencapai alam dewata itu disebut Dewa Pitara. Dewa Pitara artinya pitara yang telah mencapai alam dewa. Jadi tujuan ritual dan pada upacara penyucian rokh leluhur ialah agar leluhur itu dapat diajak kembali ketempat tinggal bersama keluarga yang masih hidup, ditempatkan di hulu pekarangan rumah (Pemerajan/Sanggah Kemulan) untuk dipuja dan dimohonkan perlindungannya. Jikalau rokh itu masih dibelenggu oleh stula sarira dan suksma sarira maka rokh itu belum dapat dipuja di sanggah kemulan/pemerajan, tetapi jika sudah dilakukan upacara memukur dan sudah melakukan upacara ngelinggihang Dewa Hyang, maka sudah dapat diyakini sebagai Dewa atau dewata.

2  Etika Pembuatan Kemulan Rong Tiga ditinjau dari Unsur Sivam
Dalam proses penyampaian ajaran weda adalah proses yang sangat sulit, oleh karena itu perlu ditempuh dengan jalan yang strategis melalui pemahaman ajaran weda. Kandungan Veda sangat dalam dan rumit yaitu unsur tatwa/satyam (kebenaran), kesucian (sivam), dihadapi dan dimasyarakatkan dengan proses sundaram (keindahan). Sivam merupakan simbol penjabaran ajaran Veda melalui konsep pemahaman nilai-nilai kesucian atau etika Hindu. Secara umum dalam pembuatan bangunan kemulan rong tiga juga harus didasarkan atas unsur etika/ tatacara yang sesuai dengan konsep dan ajaran Veda, sebab untuk membangun suatu kesucian maka cara yang dilalukan (proses pembuatanya) harus benar. Adapun nilai-nilai Sivam dalam bangunan kemulan rong tiga antara lain:
2.1    Memilih Lokasi Mendirikan Sanggah Kemulan Rong Tiga
Memilih tempat membangun rong tiga kemulan harus selalu berada di hulu karang. Dalam konsepsi Tri Angga dari pendirian perumahan, maka sanggah/ pemrajan termasuk bagian Utama Angga.  Berdasarkan konsep tersebut maka lokasinya harus terletak di bagian kaja dan kangin. Memilih lokasi bangunan merupakan hal pertama yang harus dilakukan, disesuaikan dengan desa, kala, patra daerah masing-masing. Hal ini dikarenakan tidak disetiap tempat letak dari bangunan suci terletak di bagian utara dan timur dari rumah pekarangan. Contohnya bisa kita lihat di kabupaten Buleleng. Pengertian kaja bagi umat Hindu di Bali adalah berdasarkan pada letak dari gunung, karena letak gunung di Bali terletak di tengah-tengah, maka sebagian besar masyarakat Buleleng, Sanggah kemulanya terletak di sebelah selatan perumahan.
Secara umum titik tolak pengukuran dimulai dari Ersania (Timur Laut) (Bandesa Tonjaya,1982: 16). Bangunan sanggah kemulan, ditempatkan pada arah timur laut (Ersanya) dan pekarangan rumah tinggal, tempat ini diyakini sebagai hulu karena itu disebut utama mandala. Lokasi ini biasanya paling tinggi dasarnya jika dibandingkan dengan bangunan lain. Pembangunan Sanggah Kamulan pengukurannya dimulai dan Timur, yaitu batas tembok penyengker ke Barat sebanyak 7 tampak. Dimulai dari Timur karena Timur lambang kesucian keutamaan (Suandra, 2000: 17).
Dalam tradisi di Bali termuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai bangunan suci adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk. Tempat-tempat yang ideal untuk membangun tempat suci adalah seperti disebutkan pada kutipan-kutipan dari Bhavisya Purana dan Brhat Samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sagara-giri” atau “sagara-giri adumukha”, tempatnya sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut. Menurut keyakinan umat Hindu, letak tempat suci ditempatkan di hulu, yaitu berpedoman kepada matahari terbit atau letak gunung. Matahari terbit dan letak gunung diyakini sebagai arah yang suci karena kedua sumber alam ini diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua mahluk hidup. Di Bali khususnya, arah hulu itu terletak pada arah timur dan utara atau disudut timur laut. Di beberapa tempat tertentu, ada pula yang mempergunakan arah hulu itu menuju jalan atau ke arah sungai.
2.2. Ukuran Tempat Pelinggih Bangunan Sanggah Kemulan Rong Tiga
Menurut tradisi, ukuran karang parumahan terdiri dari sikut Satak, Sikut Domas (nista, madya, Utama) yang luasnya memang cukup memadai, sedangkan mengukurnya menggunakan ukuran depa, depa agung maupun depa alit. Dengan ukuran karang yang demikian itu, untuk ukuran palemahan sanggah kamulan, dapatlah mengambil  ukuran seperti disebut dalam lontar Astakosali, yakni  ukuran “14 depa lawan 13 depa, pangretannya dwajangaran, umah parhyangan panti paibon, sad kahyangan  pangastulan , ika wenang angge” tapi, dengan semakin terbatasnya tanah untuk pekarangan perumahan, maka sulitlah untuk mendapatkan tanah seluas ukurang tersebut di atas. Namun, untuk palemahan yang ukuran sempit , bisa diperkecil, misalnya diperkecil 3 atau 5. Jadi pokok ukuran untuk palemahan sanggah kamulan adalah 14 depa lawan 13 depa dengan penghurip 1 hasta musti, untuk pakarangan kecil bisa diperkecil 3 atau 5.
 Sedangkan jarak antara palemahan sanggah kamulan dengan rumah gedong/meten (Bale Badaja) mempergunakan tampak kaki yang memiliki (pemilik rumah), dengan perhitungan yang jauh pada “Guru” atau “Indra” dari astawara dengan penghuripan 1 tampak ngandang. Jadi dengan demikian jarak antara rumah badaja dengan sanggah adalah 3 atau 4 tampak ditambah 1 tampak ngandang.
Selanjutnya, letak palinggih Kamulan adalah mengambil bilik jarak 3 tampak ditambah 1 tampak ngandang dari tembok timur. Untuk mendapatkan letak bagi palinggih taksu, adalah dengan jalan mengukur luas natar/halaman antara bataran Kamulan dengan piyasan, kalau ada. Sedangkan letak piyasan juga mempergunakan perhitungan Guru atau Indra, dari bataran kamulan, selanjutnya dari tengah-tengah jarak antara piyasan dengan kamulan ditarik garis ke “kaja” dan bertemu dengan hitungan Guru dari tembok kaja, itulah tempat Taksu.
Sanggah kemulan diyakini paling utama dan suci, karena stana dan para leluhur yang dimuliakan. Secara konsepsi, sanggah kamulan memakai ukuran tampak kaki dari pemiliknya yaitu: 11 x 7 tapak, dengan perhitungan jarak dari utara ke selatan 11 tapak dan jarak dari timur ke barat 7 tapak. Dalam pelaksanaan pengukuran besar bangunan kemulan itu diwajibkan menggunakan tapak kaki dari pemiliki rumah, hal ini didasarkan kepada keputusan Sang Hyang Anala yang berbunyi sebagai berikut:
Muwah kengetakna, yan ri kalaning kita ngawe sukat wewangunan tulakakna ring buana sariranto, para ikang mamet, sakeng rika juga pasuk wetunia, yata urip lawan patinia, paweh lawan walinia, suksma mwah maring nguni.
Terjemahannya :
Yang patut diingat, pada waktu Anda membuat ukuran bangunan, ukurlah diri Anda, dari sanalah diambil bagian-bagiannya, sebab dari sana jugalah keluar masuknya, demikian pula hidup dan matinya, memberi dan mengembalikannya, pada akhirnya kembali musnah pada asalnya dahulu (Suandra, 1991 : 27).
Pemakaian 7 tampak dari Timur didasari oleh perhitungan Asta Kosala Kosali bahwa Palemahan memanjang Timur - Barat itu mempunyai arti sebagai berikut: 1 = teka perih, 2 = kwehing bakti, 3 = lwih guna, 4 kwehing perak, 5 = kebrahman, 6 = luihing dana, 7 hayu/ ayu, 8 = stri kalpa, 9 = rajabhaya, 10 kwehing satra, 11 = sugih mas. (Suandra, 2000: 17 dan Bendesa Tonjaya, 1982: 16). Berdasarkan  pedoman  tersebut,  maka dipilih dan  digunakannya  7  tampak karena 7 berarti ayu / baik dan digunakannya 11 tampak karena berarti sugih waras. Dari sini sudah sangat jelas bahwa semua bangunan Hindu di Bali tidak boleh dibuat dengan sembarangan dan hanya mementingkan keindahan semata. Kaidah-kaidah seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks  Hindu berbahasa  Sansekerta,  yang tentunya diterapkan  di dalam praktik mencipkan karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun seni tari dan teater, karawitan dan sastra.
2.3 Caru Pangrwak Bhuana
Setelah kita melaksanakan pengukuran palemahan dan menentukan tempat bangunan, maka palemahan tersebut diberikan upacara “caru pangrwabhuana” yang lazim disebut caru ayam brumbun, dengan sarana ayam brumbun diolah, dibuat jatah calon, menurut urip tengah. Kulit, kepala ,sayap, kaki dijadikan bayang-bayang diletakkan di atas “sengkul” delapan lembar pula. Peneknya, penek dananan, nasi manca warna, di bawah maupun pada sanggah cucuk digantungi “sujung” berisi tuak arak.
Yang dipangil pada caru tersebut adalah sang bhuta rwak bhuana,sang bhuta kala dengan “bala”nya semua Sang Bhuta Rwak Bhuana adalah nama lain dari pada sang Bhuta Manca Warna dan juga bergelar Sang Bhuta Angga Sakti. Setelah caru pangrwakbhuana, barulah dilaksanakan pengukuran menurut ucap “ asta kosala” kalau sudah benar ukuran ini, lalu tempat bebaturan dan palinggih-palinggih kamulan, taksu, apit lawang, panglurah diberikan batas berupa patok-patok. Tanah dalam patok-patok digali “ amusti” dalamnya. Lubang itu tempat memendem dasar yang dibersihkan terlebih dahulu.
Adapun aturan dalam meletakan pendeman dasar yaitu lobang tempat menanam pendeman dasar digambari Padma Astadala lengkap dengan Dasaksaranya. Lalu dipersembahkan Pabyakalan, pangreresikan , isuh-isuh, tepung tawar, lengkap dengan Lis buu. Akan lebih baik juga dipersembahkan prayascita. Setelah itu dilukat dan bersihkan lubang itu.
1.      Tumpeng Bang gde adharman 2 (bungkul) atau pras barak, dagingnya ayam biing (merah) atau ayam hitam dipanggang, raka-raka, penyeneng, tatrag, tatebus, canang gagempolan canang geti-geti.
2.      Letakkan bata merah dengan lukisan Badawangnala, tengah-tengah badawangnala ditulisi aksara (Ang) dan letakkan batu bulitan dengan ditulisi aksara (Ang, Ung, Mang).
3.      Di atas bata dan batu bulitan letakkan bungkak nyuh gading dikasturi airnya dibuang. Di dalamnya ditulisi (Ong) diisi serta wangi-wangian, seperti dedes lenga wangi, burat wangi, air kumkuman, bunga serba harum, dan sebuah kwangen kraras dengan uang kepeng 11 keping. Setelah lengkap isinya dibungkus dengan kain putih,diikat dengan benang putih, dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai cili diisi bunga dan sebuah kwangen sebagai muka (prerai).
4.      Disamping klungah nyuh gading tersebut, di atas bata dan batu bulitan, letakkan sebuah kwangen besar dengan uang kepeng 33 keping.
5.      Disekeliling lubang, persembahkan segehan cacahan, sege bang 9 tanding, lauknya darah mentah, bawang jahe,dengan tetabuhan tuak-arak.
6.      Pada hulu lubang tancapkan sebuah sanggah, dengan bantennya: sebuah daksina, pras ajuman, sodaan putih kuning, dagingnya ayam putih betutu, peras dagingnya ayam panggang, canang raka, geti-geti, canang lengawangi, penyeneng, lis, ketipat kelanan, dengan daging telur sebutir.
7.      Banten dihadapan yang memuja: sesantun, di bawah sanggah, gelar sanga, bayuan, jahitan lis angiyu segehan agung, tetabuhan tuak-arak, biyakawonan, prayascita 1.
Caru Pangrwak Bhuana dan menanam dasar bangunan adalah upacara peletakan batu pertama sebagai pertanda dimulainya pembangunan suci kemulan tersebut.
2.4.  Melaspas, Makuh dan Nuntun Ngenteg Linggih
Bila bangunan suci Sanggah kamulan sudah selesai dikerjakan,cmaka dilaksanakan upacara makuh, melaspas, dan ngenteg linggih menurut nista, madya dan utama. Melaksanakan upacara tersebut harus mencari hari yang dipandang baik, menurut petunjuk yang akan muput (Sulinggih). Adapun hari baik untuk upacara tersebut adalah:
ü  Menurut Tri Wara: Beteng
ü  Menurut Saptawara: Soma, Budha, Wrespati, dan Sukra.
ü  Menurut Sangawara: Tulus dan Dadi
ü  Menurut Sasih: Kapat, Kalima, dan Kadasa.
ü  Menurut penggabungan hari dan tanggal panglong: Mertadewa, Dewa gelayang, Ayu nulus, Dewa mentas, dan bila Purnama sangat baik.
Upacara makuh yang dimaksudkan adalah upacara untuk memohon agar bangunan menjadi kokoh. Makuh berasal dari kata bakuh, yang berarti kokoh. Adapun sarana bebantenannya terdiri dari: satu soroh genap, menurut nista, madya, utama. Penghurip-urip yang terdiri dari areng kayu yang baunya harum seperti: cendana, majagau, serta kapur/pamor.
Upacara makuh mendahului upacara melaspas, tepatnya bila bangunan telah berdiri. Sedangkan upacara melaspas bertujuan untuk menyucikan/sakralisasi bangunan yang baru selesai tersebut. Upacara/bebantenan untuk melaspas sanggah kamulan terdiri dari:
A.    Melaspas Alit/nista, cukup dipuput oleh Pemangku/Pinandita.
Adapun upacara yang dipergunakan antara lain :
ü  Di Sanggah Pasaksi atau sanggah Surya: Peras, Ajuman, Suci satu soroh beserta runtutannya.
ü  Didepan bangunan yang baru selesai disediakan dua kelompok upakara: banten pemelaspas beserta runtutannya dan banten ayaban tumpeng 7 beserta runtutannya.
ü  Pada dasar bangunan yang baru selesai diisi Pedagingan/Panca datu, dan canang pendeman.
ü  Pada Janggawari dalam gedong bantennya sama dengan dipesaksi dengan dilengkapi tikar, kasur, bantal/suci kecil pesuciannya dilengkapi dengan cermin dan sisir.
ü  Pada atap puncak bangunan/Murdha itancapi beberapa buah orti dari rontal.
ü  Nasi undagi, jenis banten ini diperuntukkan bagi perabot/alat-alat para undagi,misalnya: serut, timpas, siku-sikuan sebagainya.
ü  Pada halaman/ natar, upakaranya terdiri dari: Byakala, Prayascita, durmangala, segehan agung, caru ayam brunbun beserta runtutannya.
ü  Sedangkan di depan Sang muput: Upakaranya untuk menyucikan dan untuk menghaturkan sesajen: prayascita, pengresikan, dilengkapi pras lis, cecepan, penastaan, tigasan, tetabuhan yaitu tuak, arak, berem, serta pasepan/padupan.
ü  Banten Arepan terdiri dari: peras, ajuman, daksina, rayunan, tipat kelanan, punia, dan sesari.
B.     Melaspas yang tergolong Madya:
Bila mengambil melaspas madya maka yang muput semestinya seorang Sulinggih/Pandita. Bila tingkat ini diambil maka terdapat penambahan-penambahan dari tingkat nista seperti berikut:
ü  Di Sanggah Pasaksi/ tutuan, ditambah : dewa-dewi, suci dua soroh beserta runtutannya atau satu soroh pebangkit beserta runtutannya.
ü  Pedagingannya ditaruh pada sebuah cawan tertutup/repetan dengan menambah sebuah permata yang bagus.
ü  Pada Jagarawi ditambah suci 2 soroh beserta runtutannya.
ü  Dihadapan Sang Amuja: ditambah eteh-eteh panglukatan, peras ayuman dengan daksina gede dan suci masing-masing satu soroh.
ü  Di natar, carunya: pancasanak, dan baik sekali bila ditambah pangeresiganaan.
ü  Ditambah upacara ngenteg linggih, untuk keperluan upacara ini upakaranya terdiri dari: satu penuntun, dan satu soroh segehan agung.
Selanjutnya ngenteg linggih sebagai rangkaian upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara mendirikan sebuah bangunan suci, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan linggih berarti menobatkan/ menstanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah upacara penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan upacara.
3    Perubahan Bentuk Bangunan Kemulan Rong Tiga ditinjau dari unsur sundaram
Konsep sundaram merupakan unsur atau nilai  keindahan (estetika) dari kreativitas yang pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmatnya. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni merupakan penghalus hidup manusia. Tanpa keindahan, hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus rasa dalam kehidupannya. Adapun nilai-nilai sundaram atau keindahan dalam bangunan kemulan rong tiga, antara lain:
3.1        Bentuk Bangunan Kemulan Rong Tiga
Secara umum bentuk bangunan kemulan rong tiga, didasarkan atas konsepsi Bali “tri angga” yang menganalogikan semua benda layaknya tubuh manusia dan terdiri dari tiga bagian yaitu: kepala, badan, dan kaki. Konsep Tri angga dalam bangunan dapat dilihat dari pembagian  bangunan menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu bagain utama angga berupa raab  atau atap bangunan sebagai bagian kepala (paling disucikan). Bagian madya angga  berupa  pengawak  atau badan bangunan yang terletak di bagain tengah, dan nista angga  berupa bebataran yang merupakan kaki bagi bangunan yang terletak pada bagian  bawah.
Konsep Tri Angga digunakan pada bangunan memiliki fungsi untuk menentukan konsep hierarki ruang yang menghubungkan antara proporsi sang  pemilik bangunan dengan proporsi suatu bangunan agar terjadi keseimbangan antar proporsi pemilik bangunan dengan bangunan. Dengan konsep tri angga yang digunakan pada bangunan nantinya akan memberikan keharmonisan dan keselarasan antara pemilik bangunan dengan bangunan arsitektur kemulan rong tiga pun dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu:
(1)      Dasar (bebaturan), yang terbuat dari pasangan bata merah atau batu alam, sebagai bagian kaki bangunan. Pada bagian ini dipahatkan berbagai macam ornamen seperti karang manuk, karang hasti, pepatran, dan lain sebagainya.
(2)      Ruang suci (rong), yang terbuat dari bahan kayu yang diangap baik, sebagai bagian badan bangunan. Dalam lontar Astakosala-kosali diuraikan kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah:
·           Cendana tergolong kayu prabhu (Utama)
·           Cempaka tergolong kayu arya (utama)
·           Menengen tergolong katu patih (madya)
·           Majagau tergolong kayu demung (madya)
·           Suren tergolong kayu demung (nista)
(3)      Atap (raab), yang struktur utamanya terbuat dari bahan kayu dan   bahan   penutup   berupa   ijuk.
Diera pesatnya perkembangan teknologi maka banyak pula alkulturasi budaya yang terjadi di berbagai daerah dalam modifikasi bangunan Kemulan Rong Tiga. Walaupun bentuk kemulan dimodifikasi dengan berbagai bentuk akan tetapi esensinya masih tetap sama. Mulai dari nilai tattwa, sampai pada tatacara pembuatanya masih tetap menjadi acuan dalam pembangunanya. Hal ini dapat dilihat dari gambar berikut:

 






                               Gambar 1. Bentuk modifikasi Sanggah Kemulan Rong Tiga

Dari gambar di atas dapat dilihat perubahan atau modifikasi yang dilakukan dalam pembuatan Sanggah Kemulan Rong Tiga. Namun demikian pada dasarnya bangunan tersebut tetap berlandaskan pada konsepsi Bali “tri angga” yang terdiri dari tiga bagian yaitu dasar bangunan, badan bangunan dan atap dari bangunan. Perkembangan ini pada hakikinya tidak luput dari pengaruh modernisasai sehingga memunculkan berbagai bentuk keragaman yang sangat unik dari masyarakat Bali. Walaupun bentuk bangunan ini dirancang sedemikian rupa guna mengurangi biaya pembuatan ukiran atau ornament yang begitu mahal akan tetapi tidak mengurangi esensi dan nilai bhakti umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Tri Murti dan Tri Atma.
3.2        Perubanan Bentuk Hiasan Bangunan Kemulan Rong Tiga
Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil  harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut: (1) rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan  harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya,  yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya; (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya  sebuah pohon dengan bunga- bunga dan buah-buah  yang dimaksudkan  sebagai lambang kesuburan,  haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; (3) pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan; (4) wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat; (5) bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan; dan (6) lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya (Sedyawati dalam  Sumardjo 2000:337).
Bangunan Kemulan secara umum dihiasi dengan motif-motif seni di Bali. Salah satu keunikan bangunan ini adalah adanya ukiran-ukiran yang berisi hiasan-hiasan dan motif-motif Bali sehingga melahirkan suatu bangunan yang unik nan indah.  Motif pada dasanya adalah  dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) Sedangkan tradisional adalah kebiasaan secara turun-tumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian upacara dsb.
Motif hiasan atau ornamen merupakan karya seni yang bersumber dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen). Sedangkan pola mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007:7).
Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turun-tumurun (sudah mentradisi), oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias tradisional. Dalam pengertian  tradisional bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331).Adapun jenis-jenis motif hias tradisional Bali tersebut antara lain sebagai berikut :
a.  Motif Keketusan (geometris), terdiri dari : Kakul-kakulan, Batun timun, Ganggong,  Emas-emasan, Ceracap, Mute-mutean, Tali ilut dan sebagainya.
b.   Motif tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri dari : Patra Punggel, Patra Samblung,   Patra Sari, Patra Olanda, Patra Cina,  Patra Wangga dan sebagainya.
c.    Motif Kekarangan, terdiri dari :  Karang Gajah, Karang Guak, Karang Tapel,  Karang Boma, Karang Sae, Karang Bentulu, Karang Simbar dan sebagainya.
Adapun perubahan-perubahan bentuk motif yang mengandung unsur keindahan dalam bangunan ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
















         Gambar 2. Bentuk Sanggah Kemulan Rong Tiga Tradisional dan Modern

Unsur keindahan dalam bangunan ini dapat dilihat dari bentuk bangunan yang sangat unik serta memiliki vibrasi seni yang sangat indah. Walaupun masih sederhana dan klasik akan tetapi setelah mengalami proses sakralisasi dengan retetan upacara maka bangunan itu akan memiliki nilai seni atau bisa dikatakan metaksu dan memunculkan vibrasi yang menciptakan lango. Kemudian dari bentuk bangunan modern di sebelahnya, tentunya sangat mencirikan kreatifitas seni di Bali. Kombinasi antara batu, kayu dan ijuk membentuk suatu kesatuan yang utuh saling terkait. Bagian dasar dirangkai dari batu alam dengan ukiranya, di bagian badan dirangkai dengan kayu yang diukir dan dicat prada serta dibagian atap yang dibuat khusus sesuai dengan tatacara pembuatan bangunan. Hal ini memunculkan suatu vibrasi sivam, dan sundaram yang sangat dijiwai oleh tattwa atau satyam.  

5 komentar:

  1. Apakah setiap orang setelah menjalani hidup berumah tangga perlu mendirikan kemulan? Apa hubungannya dengan turus lumbung setiap perkawinan dulu, sekarang tidak ada. Mohon penjelasan Suksma.

    BalasHapus
  2. Tolong kasi tau ukurannyamsding" sanggah.

    BalasHapus
  3. Dalam aturannya,melaspas pelinggih berapa mestinya mendem pedangingan pada rong tiga ( kemulan)?? Suksma.

    BalasHapus
  4. Saya mau bertanya. Sangah kemulan itu rong/tempatnya dibabgi 3, atau ada 3 selat, untuk daksina linggih apakah harus 3 atau 1 saja? Terimakasih

    BalasHapus
  5. Mohon penjelasan, biasanya pada waktu nglinggihang dewa hyang, yan purusa dikanan dan predana dikiri,
    Pertanyaan, yang mana disebut kanan atau kiri.suksma

    BalasHapus