Om
Swastyastu
Umat Sedharma yang
berbahagia, Di era globalisasi ini masyarakat cenderung lebih memilih gaya
hidup yang serba mewah. Hal ini sedikit tidaknya juga diakibatkan oleh
perkembangan jaman maupun perkembangan teknologi. Oleh karena itu, kebanyakan
masyarakat rela menghabiskan waktu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik yang bersifat primer (pokok), skunder
(kebutuhan hidup tingkat kedua), maupun yang bersifat tersier (mewah).
Kebutuhan hidup yang sesungguhnya masih bisa ditunda menjadi semakin
didahulukan karena kebanyakan orang masih belum merasa puas dengan apa yang
sudah ia miliki. Melihat hal tersebut dapat kita diketahui bahwa kesadaran para
masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama sudah mulai
menurun. Walaupun bekerja adalah suatu hal yang wajib dalam kehidupan, alangkah
baiknya jika waktu bekerja dan waktu sembahyang dapat diseimbangkan sehingga,
setelah melakukan ritual persembahyangan para umat beragama akan merasa lebih
tenang dalam melakukan aktivitas keseharian yang sering kali menimbulkan
kejenuhan dan membuat pikiran menjadi sumpek/stress.
Umat Sedharma yang
berbahagia, tahukah mengapa di bali semua kegiatan upacara selalu memakai
sarana dari bunga? Baik itu tingkat nistaning nista sampai utamaning utama
selalu menggunakan sarana bunga. Kemudian pola hidup masyarkat saat ini yang
cendrung praktis dalam kegiatan persembahyangan seperti membeli canang dan
bunga, ternyata menimbulkan maraknya penjualan sarana upakara yang telah
dipakai kemudian didaur ulang kembali dan dijual oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab termasuk sarana bunga didalamya. Selain itu banyak umat hindu
di bali tidak mengetahui peranan bunga dalam persembahyangan, kemudian ada juga
yang saya lihat canang yang sudah ditanding sekitar tiga hari kemudian dipakai
dalam upacara sehingga bunganya pun agak layu dan kering. Itu menandakan bahwa
umat kurang mengetahui bunga bagaimana saja yang baik dihaturka kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian ada juga beberapa umat yang menggunakan bunga
yang dilarang dalam persembahyangan. Oleh sebab itu penting bagi saya untuk
memberikan atau menyapaikan dharma
wacana ini kehadapan umat sekalian untuk menyampaikan arti dan fungsi bunga
serta bunga apa saja yang hendaknya dipakai dalam persembahyangan.
Umat sedharma
yang berbahagia, pertama saya
akan menyampaikan arti dan fungsi bunga dalam kegiatan keagamaan. Bunga
memiliki dua fungsi yang penting dalam suatu upacara yaitu, berfungsi sebagai
simbul Tuhan (Siwa) dan sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul
biasanya diletakan pada puncak cangkupan kedua belah telapak tangan pada saat
melakukan persembahyangan dan juga disumpangkan di telinga ketika
persembahyangan (muspa) yang ke-empat. Sedangkan bunga sebagai sarana
persembahan, maka bunga itu digunakan untuk mengisi upakara atau sesajen yang
akan dipersembahkan kepada Tuhan atau pada leluhur seperti pada canang,
kewangen dan lain sebagainya. Hampir semua upakara / banten mengandung atau
berisi bunga baik itu persembahan dari yang sederhana atau tingkat nista sampai
yang tingkat utama dalam melaksanakan panca yadnya.
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa
aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
Om Puspa Dantaya Namah (puspa)
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)
Yang dimaksud dengan puspa-danta ialah Siwa, atau gelar yang
diberikan kepada Siwa. Dari matra di atas penggunaan kembang atau bunga bukan
lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang Siwa.
Aksata atau biji-bijan berupa beras adalah lambang benih (biji) kumara
adalah putra Siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah
tuhan itu sendiri. Gandha adalah bau harum yang bersal dari kembang atau bunga
dan biji-bijian itu, gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamkan
sebagai amerta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amerta yang di
dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa sebagai Iswara. Dari mantra di
atas yaitu mantram puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud
dari Sang Hyang Puspa Danta, yang merupakan gelar yang Sang Hyang Widhi Wasa.
Dengan demikian bunga dapat dikatakan sebagai lambang Siwa dan bunga sebagai
sarana persembahan atau sarana pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
wujud banten atau upakara.
Arti bunga dalam lontar Yadnya
Prakerti yaitu “Sekare pinako katulusan
pikayunan suci” yang artinya bunga itu sebagai lambang ketulus ikhlasan
pikiran yang suci. Dalam Bhagavad Gita
bab IX sloka 26 disebutkan bahwa unsur-unsur pokok persembahyangan yang
ditunjukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu daun, bunga, buah-buahan, dan
air.
Pattram puspam phalam toyam
Yo me bhaktaya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya :
Siapapun yang dengan kesunguhan
mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang
didasari oleh cinta dan keluar dari dalam lubuk hatiyang suci aku akan terima.
Dari
penjelasan Sri Kresna sebagai Avatara Visnu mengenai unsur-unsur pokok dari
persembahyangan yang kemudian berkembang di bali menjadi bentuk upakara,
landasan utama yang mendasar dalam melaksanakan upacara dan persembahyangan itu
yaitu cinta kasih dan rasa tulus iklas tanpa pamrih meskipun bentuk sangat
sederhana. Membuat upacara megah dan besar itu akan baik sekali namun harus
berdasarkan ilmu pengetahuan atau tattwa agama serta harus memiliki unsur tulus
ikhlas, dan cinta kasih sehingga dapat memunculkan kesucian. Jadi sebagai landasan utama dalam
menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai
dengan cinta kasih walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum
bunga, apabila dilandasi dengan cita kasih yang menyertainya, maka persembahan
yang demikianlah yang diterima oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian sebaliknya
persembahan yang serba banyak dan serba mewah, serta semarak jika tidak
dilandasi dengan ketulusan hati akan percuma, karena tidak akan ada pahala yang
baik bagi mereka yang mempersembahkan dengan rasa pamrih.
Umat Sedharma yang berbahagia,
Bunga yang baik digunakan untuk persembahyangan haruslah sesuai dengan sastra
hindu serta memiliki nilai kesucian. Dengan demikian perlu dipilih bunga yang
baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai
sebagai sarana upacara yadnya. Secara umum, bunga yang baik digunakan antara
lain, bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya,
bunga yang tidak mudah layu, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang
lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu diingat bunga sebagai
sarana dalam upacara yadnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu
diperciki tirta panglukatan agar terbebas dari segala jenis kekotoran dan
mala. Jenis-jenis bunga yang baik untuk
digunakan sebagai persembahan menurut tattwa hindu antara lain:
- Dalam kekawin Siwalatri Kalpa, menyebutkan: bunga menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung, nuduri putih, bunga kutat asoka, bunga cempaka, sroja putih, dan semua bunga yang memiliki kesucian hendaknya dipetik yang demikian.
- Dalam lontar Wariga Cemet, dijelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan Atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain Bunga Jepun, Sari, Sincer, Pucuk pucat, Tulud nyuh, Kwanta, Soka kling, Kenyiri putih, Gambir lima, tiga kuncu, sedap malam, anggrek bulan, gunggeng cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bang, jepun sudamala, sruni putih, anggrek madu, sari konta dan masih banyak yang lain.
- Dalam naskah Siwa gama ditegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yadnya terutama untuk membuat puspa lingga, serangkaian upacara pitra yadnya yakni untuk memuja upacara pitra dan roh suci leluhur terutama dalam upacara atma wedana (Nyekah) antara lain: Bunga medori putih dan bambu buluh.
- Dalam naskah Darsana, menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yadnya adalah bunga tunjung atau bunga teratai. Bunga tunjung atau teratai dikatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma. Ditegaskan pula apabila bunga teratai tidak ada dapat juga menggunakan jenis yang lain.
- Dalam Kitab Jnana Sidhanta, bunga yang mekar dan wangi itu disebutkan sebagai lambang aksara suci. Kemudian bunga yang dipentingkan sebagai lambang keagamaan adalah bunga yang mekar dan berbau wangi.
- Dalam Naskah Jawa Kuna Nawa Natya dijelaskan ada bunga yang memiliki pilar yang utama dalam upacara yadnya yaitu Bunga Ratna. Keutamaan bunga ratna ini dijelaskan dalam salah satu episode cerita Adi Parwa. Diceritakan ada dua raksasa besar yang bertapa sangat tkun agar bisa menguasai sorga. Melihat hal tersebut, para dewapun menjadi sangat khawatir dan untuk mengatasi hal tersebut Dewa Brahma menugaskan Dewa Wiswakarma untuk menciptakan putri cantik guna mengoda tapa kedua raksasa tersebut. Dewa Wiswakarma akhirnya menciptakan putri cantik dengan sarana bunga “ratna dan wijen”. Terciptalah putri yang sangat cantik dengan nama “Tilotama”. Karena saking cantiknya maka dewa-dewa pun menjadi terpesona melihatnya, sampai- sampai Dewa Brahma mengeluarkan catur mukanya untuk dapat melihat putri tersebut dari segala penjuru. Diceritakan Tilotama mengoda tapa dari raksasa Sunda dan Upasunda. Raksasa kembar itupun akhirnya berperang memperebutkan dewi Tilotama. Karema sama-sama sakti maka kedua raksasa tersebutpun meninggal secara bersamaan. Karena jasa bunga ratna tersebut, maka bunga ratnapun mendapat wara nugraha sebagai bunga utama untuk memuja Tuhan, atau sarana yang utama untuk keagamaan. Jadi bunga yang utama itu adalah bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya dan bunga yang seperti itulah yang dapat dipakai sebagai sarana pemujaan.
Umat Sedharma yang berbahagia, adapun bunga yang tidak
diperbolehkan sebagai sarana upakara yang dijelaskan dalam beberapa lontar
hindu yaitu sebagai berikut :
- Dalam Naskah Aji Janantaka menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunannya sebagai sarana dalam pemujaan, sesuai naskah tersebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat wara nugraha dan tidak mohon penglukatan Hyang Siwa sehingga mendapat kutukan untuk digunakan dalam penggunaannya sebagai sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi.
- Dalam Naskah Agastia Parwa dijelaskan :
“Nihan ikan kembah,
tan yogya puja kene rin batara : kembah huleren kemban rurutan inunduh, kembah
semutan, kembah layuan naranya alewan mekar – kembah munggah ring seme. Nahan
ta lwir nin kemban tan yogya pujakene de nika san satwika kemban uttama ta
pujeken ira maran saphala rupa nira, apan magawe ya janma lawan rupa ikan
tuhagana muja naranya ”
Yang berarti :
Inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan
kepada Bhatara, Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga
yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga
yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut untuk
dipergunakan supaya wajahnya sesuai dengan yang dipersembahkan. Dalam sumber yang sama, juga menegaskan bagaimana
kekuatan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bukti
sloka sebagai berikut:
“Kunan ikang Stri mahalatanpapirak,
tanpajanma, tan wuruh maniwi swani, mogha kinasihan denin laki wisese monke
sila nikan nuni: Jnanan bhaktis tu nethe ya, bhakti maswami nuniweh ri dewata
ikanuri ndatan tebet bhakti niki, tan upakara phalanin bhaktinya resep.
Dumehnye wirupa mwan tanpa Janma. Tan wuruh amehelepa silanya nuni, agilem
anujaken kemban tan yogya pujakene, tan aradin, olih bwat jawanya, apan samanke
kemban tan Yogya pujekene rin bhatttara”
Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak
bisa melayani suami, tetapi disayang oleh laki-laki. Dahulu ia itu bakti kepada
suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat, karena tidak
mempergunakan upakara dalam bhaktinya. Itulah yang menyebabkan ia menjadi buruk
rupa dan tidak bangsawan sifatnya. Dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkahnya
sopan, ia gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak
bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut
dipersembahkannya kepada Bhatara.
Baiklah
umat sedharma yang berbahagia, Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka
dapat ditegaskan di sini walaupun sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Ida Sang
Hyang Widhi tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan
berupa upakara yadnya maka kurang bermaknalah cetusan rasa bakti itu. Demikian
pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bakti itu kepada Ida Sang Hyang
Widhi dengan persembahan upakara yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan
kehadapan-Nya tidak pada tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut
dipersembahkan, mempersembahkan sarana yadnya yang tidak suci, persembahannya
itu cemer (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan (yang bukan
miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga/ kembang/ puspa/ sekar
yang tidak baik sesuai dengan landasan Dharma, maka tidak ada maknanya
persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bakti kehadapan Tuhan tentunya
melalui sarana upakara. Yadnya yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis
dan makna dari yadnya itu sendiri.
Umat sedharma yang berbahagia, perlu saya tekankan
sekali lagi bahwa bunga itu merupakan simbul dari Tuhan Siwa, lambang dari
ketulus ikhlasan pikiran yang suci dan merupakan sarana persembahan. Jadi bunga
yang baik untuk dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga
yang memiliki daya pesona, memiliki nilai kesucian dan sesuai dengan ajaran
agama hindu sedangkan bunga yang tidak layak dipakai adalah bunga yang berulat,
bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu,
dan bunga yang tumbuh di kuburan serta dua jenis bunga yang dilarang yaitu jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga
silikonta.
Melihat pentingnya peranan bunga dalam kegiatan keagamaan
maka marilah kita menghaturkan bunga yang sesuai dengan ajaran agama hindu
seperti yang telah saya sampaikan tadi. Supaya cetusan rasa bakti kita
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa diterima oleh beliau dan memciptakan
kebahagiaan, ketentaraman dan kedamaian bagi kita semua.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, kurang lebih
saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan akhir kata saya tutup dengan parama
santhi.
OM Santhi
Santhi Santhi OM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar