Senin, 29 Mei 2017

NASKAH DHARMA WACANA "SARANA BUNGA DALAM KEGIATAN UPACARA KEAGAMAAN"



Om Swastyastu

Umat Sedharma yang berbahagia, Di era globalisasi ini masyarakat cenderung lebih memilih gaya hidup yang serba mewah. Hal ini sedikit tidaknya juga diakibatkan oleh perkembangan jaman maupun perkembangan teknologi. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat rela menghabiskan waktu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat primer (pokok), skunder (kebutuhan hidup tingkat kedua), maupun yang bersifat tersier (mewah). Kebutuhan hidup yang sesungguhnya masih bisa ditunda menjadi semakin didahulukan karena kebanyakan orang masih belum merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Melihat hal tersebut dapat kita diketahui bahwa kesadaran para masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama sudah mulai menurun. Walaupun bekerja adalah suatu hal yang wajib dalam kehidupan, alangkah baiknya jika waktu bekerja dan waktu sembahyang dapat diseimbangkan sehingga, setelah melakukan ritual persembahyangan para umat beragama akan merasa lebih tenang dalam melakukan aktivitas keseharian yang sering kali menimbulkan kejenuhan dan membuat pikiran menjadi sumpek/stress.
Umat Sedharma yang berbahagia, tahukah mengapa di bali semua kegiatan upacara selalu memakai sarana dari bunga? Baik itu tingkat nistaning nista sampai utamaning utama selalu menggunakan sarana bunga. Kemudian pola hidup masyarkat saat ini yang cendrung praktis dalam kegiatan persembahyangan seperti membeli canang dan bunga, ternyata menimbulkan maraknya penjualan sarana upakara yang telah dipakai kemudian didaur ulang kembali dan dijual oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab termasuk sarana bunga didalamya. Selain itu banyak umat hindu di bali tidak mengetahui peranan bunga dalam persembahyangan, kemudian ada juga yang saya lihat canang yang sudah ditanding sekitar tiga hari kemudian dipakai dalam upacara sehingga bunganya pun agak layu dan kering. Itu menandakan bahwa umat kurang mengetahui bunga bagaimana saja yang baik dihaturka kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian ada juga beberapa umat yang menggunakan bunga yang dilarang dalam persembahyangan. Oleh sebab itu penting bagi saya untuk memberikan atau menyapaikan  dharma wacana ini kehadapan umat sekalian untuk menyampaikan arti dan fungsi bunga serta bunga apa saja yang hendaknya dipakai dalam persembahyangan.
Umat sedharma yang berbahagia,  pertama saya akan menyampaikan arti dan fungsi bunga dalam kegiatan keagamaan. Bunga memiliki dua fungsi yang penting dalam suatu upacara yaitu, berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siwa) dan sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul biasanya diletakan pada puncak cangkupan kedua belah telapak tangan pada saat melakukan persembahyangan dan juga disumpangkan di telinga ketika persembahyangan (muspa) yang ke-empat. Sedangkan bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu digunakan untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan atau pada leluhur seperti pada canang, kewangen dan lain sebagainya. Hampir semua upakara / banten mengandung atau berisi bunga baik itu persembahan dari yang sederhana atau tingkat nista sampai yang tingkat utama dalam melaksanakan panca yadnya.
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
Om Puspa Dantaya Namah (puspa)
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)

Yang dimaksud dengan puspa-danta ialah Siwa, atau gelar yang diberikan kepada Siwa. Dari matra di atas penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang Siwa.  Aksata atau biji-bijan berupa beras adalah lambang benih (biji) kumara adalah putra Siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah tuhan itu sendiri. Gandha adalah bau harum yang bersal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu, gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamkan sebagai amerta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amerta yang di dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa sebagai Iswara. Dari mantra di atas yaitu mantram puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud dari Sang Hyang Puspa Danta, yang merupakan gelar yang Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian bunga dapat dikatakan sebagai lambang Siwa dan bunga sebagai sarana persembahan atau sarana pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud banten atau upakara.
Arti bunga dalam lontar Yadnya Prakerti yaitu “Sekare pinako katulusan pikayunan suci” yang artinya bunga itu sebagai lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci. Dalam  Bhagavad Gita bab IX sloka 26 disebutkan bahwa unsur-unsur pokok persembahyangan yang ditunjukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu daun, bunga, buah-buahan, dan air.

Pattram puspam phalam toyam
Yo me bhaktaya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah

Artinya :
Siapapun yang dengan kesunguhan mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari dalam lubuk hatiyang suci aku akan terima.
Dari penjelasan Sri Kresna sebagai Avatara Visnu mengenai unsur-unsur pokok dari persembahyangan yang kemudian berkembang di bali menjadi bentuk upakara, landasan utama yang mendasar dalam melaksanakan upacara dan persembahyangan itu yaitu cinta kasih dan rasa tulus iklas tanpa pamrih meskipun bentuk sangat sederhana. Membuat upacara megah dan besar itu akan baik sekali namun harus berdasarkan ilmu pengetahuan atau tattwa agama serta harus memiliki unsur tulus ikhlas, dan cinta kasih sehingga dapat memunculkan kesucian.  Jadi sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila dilandasi dengan cita kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian sebaliknya persembahan yang serba banyak dan serba mewah, serta semarak jika tidak dilandasi dengan ketulusan hati akan percuma, karena tidak akan ada pahala yang baik bagi mereka yang mempersembahkan dengan rasa pamrih.


Umat Sedharma yang berbahagia, Bunga yang baik digunakan untuk persembahyangan haruslah sesuai dengan sastra hindu serta memiliki nilai kesucian. Dengan demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yadnya. Secara umum, bunga yang baik digunakan antara lain, bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu diingat bunga sebagai sarana dalam upacara yadnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirta panglukatan agar terbebas dari segala jenis kekotoran dan mala.  Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan menurut tattwa hindu antara lain:

  1. Dalam kekawin Siwalatri Kalpa, menyebutkan: bunga menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung, nuduri putih, bunga kutat asoka, bunga cempaka, sroja putih, dan semua bunga yang memiliki kesucian hendaknya dipetik yang demikian.
  2. Dalam lontar Wariga Cemet, dijelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan Atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain Bunga Jepun, Sari, Sincer, Pucuk pucat, Tulud nyuh, Kwanta, Soka kling, Kenyiri putih, Gambir lima, tiga kuncu, sedap malam, anggrek bulan, gunggeng cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bang, jepun sudamala, sruni putih, anggrek madu, sari konta dan masih banyak yang lain.
  3. Dalam naskah Siwa gama ditegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yadnya terutama untuk membuat puspa lingga, serangkaian upacara pitra yadnya yakni untuk memuja upacara pitra dan roh suci leluhur terutama dalam upacara atma wedana (Nyekah) antara lain: Bunga medori putih dan bambu buluh.
  4. Dalam naskah Darsana, menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yadnya adalah bunga tunjung atau bunga teratai. Bunga tunjung atau teratai dikatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma. Ditegaskan pula apabila bunga teratai tidak ada dapat juga menggunakan jenis yang lain.
  5.  Dalam Kitab Jnana Sidhanta, bunga yang mekar dan wangi itu disebutkan sebagai lambang aksara suci. Kemudian bunga yang dipentingkan sebagai lambang keagamaan adalah bunga yang mekar dan berbau wangi.
  6. Dalam Naskah Jawa Kuna Nawa Natya dijelaskan ada bunga yang memiliki pilar yang utama dalam upacara yadnya yaitu Bunga Ratna. Keutamaan bunga ratna ini dijelaskan dalam salah satu episode cerita Adi Parwa. Diceritakan ada dua raksasa besar yang bertapa sangat tkun agar bisa menguasai sorga. Melihat hal tersebut, para dewapun menjadi sangat khawatir dan untuk mengatasi hal tersebut Dewa Brahma menugaskan Dewa  Wiswakarma untuk menciptakan putri cantik guna mengoda tapa kedua raksasa tersebut. Dewa Wiswakarma akhirnya menciptakan putri cantik dengan sarana bunga “ratna dan wijen”. Terciptalah putri yang sangat cantik dengan nama “Tilotama”. Karena saking cantiknya maka dewa-dewa pun menjadi terpesona melihatnya, sampai- sampai Dewa Brahma mengeluarkan catur mukanya untuk dapat melihat putri tersebut dari segala penjuru. Diceritakan Tilotama mengoda tapa dari raksasa Sunda dan Upasunda. Raksasa kembar itupun akhirnya berperang memperebutkan dewi Tilotama. Karema sama-sama sakti maka kedua raksasa tersebutpun meninggal secara bersamaan. Karena jasa bunga ratna tersebut, maka bunga ratnapun mendapat wara nugraha sebagai bunga utama untuk memuja Tuhan, atau sarana yang utama untuk keagamaan. Jadi bunga yang utama itu adalah bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya dan bunga yang seperti itulah yang dapat dipakai sebagai sarana pemujaan.


Umat Sedharma yang berbahagia, adapun bunga yang tidak diperbolehkan sebagai sarana upakara yang dijelaskan dalam beberapa lontar hindu  yaitu sebagai berikut :

  • Dalam Naskah Aji Janantaka menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunannya sebagai sarana dalam pemujaan, sesuai naskah tersebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat wara nugraha dan tidak mohon penglukatan Hyang Siwa sehingga mendapat kutukan untuk digunakan dalam penggunaannya sebagai sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi.
  • Dalam Naskah Agastia Parwa dijelaskan :

“Nihan ikan kembah, tan yogya puja kene rin batara : kembah huleren kemban rurutan inunduh, kembah semutan, kembah layuan naranya alewan mekar – kembah munggah ring seme. Nahan ta lwir nin kemban tan yogya pujakene de nika san satwika kemban uttama ta pujeken ira maran saphala rupa nira, apan magawe ya janma lawan rupa ikan tuhagana muja naranya ”

Yang berarti :
Inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada Bhatara, Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut untuk dipergunakan supaya wajahnya sesuai dengan yang dipersembahkan. Dalam sumber yang sama, juga menegaskan bagaimana kekuatan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bukti sloka sebagai berikut:
“Kunan ikang Stri mahalatanpapirak, tanpajanma, tan wuruh maniwi swani, mogha kinasihan denin laki wisese monke sila nikan nuni: Jnanan bhaktis tu nethe ya, bhakti maswami nuniweh ri dewata ikanuri ndatan tebet bhakti niki, tan upakara phalanin bhaktinya resep. Dumehnye wirupa mwan tanpa Janma. Tan wuruh amehelepa silanya nuni, agilem anujaken kemban tan yogya pujakene, tan aradin, olih bwat jawanya, apan samanke kemban tan Yogya pujekene rin bhatttara”

Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bisa melayani suami, tetapi disayang oleh laki-laki. Dahulu ia itu bakti kepada suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat, karena tidak mempergunakan upakara dalam bhaktinya. Itulah yang menyebabkan ia menjadi buruk rupa dan tidak bangsawan sifatnya. Dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkahnya sopan, ia gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkannya kepada Bhatara. 

Baiklah umat sedharma yang berbahagia, Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan di sini walaupun sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa upakara yadnya maka kurang bermaknalah cetusan rasa bakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bakti itu kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan persembahan upakara yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan, mempersembahkan sarana yadnya yang tidak suci, persembahannya itu cemer (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan (yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga/ kembang/ puspa/ sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan Dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bakti kehadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara. Yadnya yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yadnya itu sendiri.

Umat sedharma yang berbahagia, perlu saya tekankan sekali lagi bahwa bunga itu merupakan simbul dari Tuhan Siwa, lambang dari ketulus ikhlasan pikiran yang suci dan merupakan sarana persembahan. Jadi bunga yang baik untuk dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga yang memiliki daya pesona, memiliki nilai kesucian dan sesuai dengan ajaran agama hindu sedangkan bunga yang tidak layak dipakai adalah bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu, dan bunga yang tumbuh di kuburan serta dua jenis bunga yang dilarang yaitu  jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta.

Melihat pentingnya peranan bunga dalam kegiatan keagamaan maka marilah kita menghaturkan bunga yang sesuai dengan ajaran agama hindu seperti yang telah saya sampaikan tadi. Supaya cetusan rasa bakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa diterima oleh beliau dan memciptakan kebahagiaan, ketentaraman dan kedamaian bagi kita semua.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, kurang lebih saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan akhir kata saya tutup dengan parama santhi.
OM Santhi Santhi Santhi OM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar