Senin, 08 Mei 2017

Pendidikan Karakter & Pendidikan Technohumanistik (makalah)



 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Hakikat Pendidikan Karakter Dan Tujuan Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta Didik

A.    Hakikat Pendidikan Karakter
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 1992:4). Coon (dalam Zubaedi, 2011:8)  mendefinisikan   karakter  sebagai   suatu   penilaian  subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima masyarakat.   Karakter merupakan keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendifinisikan seseorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal dalam cara berfikir dan bertindak.
Lickona (1992:12)  menyebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Pendidikan karakter menerut Lickona mengandung tiga unsure pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Sementara itu Muclas Samani dan Hariyanto (2011:46) menyatakan pendidikan karakter adalah upaya terencana menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan  mengiternalisasikan  nilai-nilai  sehingga  peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Semetara itu Mulyasa  (2011:9)  berpendapat  pendidikan  karakter  menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan.   Pendidikan karakter mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dengan pendidikan budi perkerti. Hal ini ditunjukan dengan ruang lingkup pelaksanaan yang tidak terbatas pada proses pembelajaran.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pada umumnya orang yang berkarakter dalam merespons situasi secara bermoral dapat dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.   Keberhasilan Karakter adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
B.     Tujuan Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta Didik
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh sradha dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak hanya otaknya  namun  juga  cerdas  secara  emosi.  Kecerdasan  emosi  adalah  bekal terpenting  dalam  mempersiapkan  anak  menyongsong  masa  depan.  Dengan kecerdasan  emosi,  seseorang  akan  dapat  berhasil  dalam  menghadapi  segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sedangkan menurut Dharma dkk (2011:9), tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi pengetahuan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam prilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembag dinamis, beroreantasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Heri Gunawan, 2012:30).


Secara Umum pendidikan karakter menurut pemerintah bertujuan sebagai berikut :
a.         Membentuk manusia yang bermoral
Pendidikan karakter diharapkan mampu untuk mengatasi terjadinya dekadensi  moral di tengah-tengah masyarakat seperti merebaknya aksi-aksi kekerasan, tawuran massa, pembunuhan, pemerkosaan, perilaku yang menjurus pada tindak kriminalitas dan lain-lain.
b.        Membentuk manusia yang cerdas dan rasional
Pendidikan karakter tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang bermoral, beretika dan berakhlak, melainkan juga membentuk manusia yang cerdas dan rasional, mengambil keputusan yang tepat, serta cerdas dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kecerdasan dalam memanfaakan potensi diri  dan bersikap rasional  merupakan ciri orang yang berkepribadian dan berkarakter. Inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia   saat ini, yakni tatanan masyarakat yang cerdas dan rasional.
c.       Membentuk manusia yang inovatif dan suka bekerja keras
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan  untuk menanamkan semangat suka bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter bertujuan mencetak generasi bangsa agar tumbuh menjadi pribadi yang inovatif dan mau bekerja keras.
d.      Membentuk manusia yang optimis dan percaya diri
Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik sejak dini.  Kurangnya sikap optimis dan percaya diri menjadi faktor yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat  untuk dapat bersaing menciptakan kemajuan disegala bidang.  Pada masa depan, tentu saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi. Penyelenggaraan pendidikan karakter merupakan salah satu langkah yang sangat tepat untuk membentuk kepribadian peserta didik menjadi pribadi yang optimis dan percaya diri. Sejak sekarang, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk sekedar mengejar nilai namun juga membekalinya dengan wawasan mengenai cara berperilaku di tengah-tengah lingkungan, keluarga dan masyarakat
e.       Membentuk manusia yang berjiwa patriot
Salah satu prinsip yang dimiliki oleh konsep pendidikan karakter adalah terbinanya sikap cinta tanah air. Dalam hal ini yang terpenting adalah kerelaan untuk berjuang, berkorban serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Harus kita akui bahwa sikap tolong-menolong dan semangat juang untuk saling meberikan bantuan  sudah semakin luntur dari kehidupan masyarakat.
Terkait dengan tujuan dari pendidikan karakter tersebut, maka tugas pendidik yang terpenting di semua jenjang pendidikan tidak hanya terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan semata. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan secara menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya,  pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik sesuai dengan etika dan moral yang berlaku di masyarakat.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, sebab usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang sangat strategis.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan latihan otot-otot secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.  Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian, pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya. 
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, Sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.


2.2.            Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pendidikan Karakter Yang Perlu Ditumbuh Kembangkan Pada Peserta Didik
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Tuhan dan segala ciptaan-Nya, bertanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendidikan karakter dianggap sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Tampak di sini terdapat unsur pembentukan  nilai  tersebut  dan  sikap  yang didasari  pada pengetahuan  untuk melakukannya. Nilai-nilai itu merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara lebih baik (learning to live together). Nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan sesama, diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, lingkungan dan Tuhan (Masnur Muslih, 2011:67). Tentu saja dalam penanaman nilai tersebut membutuhkan tiga aspek, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Lebih lanjut, Kemendiknas (dalam Heri Gunawan, 2012:32) melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1)      Nilai karakter dalam hubungan dengan Tuhan (religius)
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ajaran agamanya.
2)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.    Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
b.    Bertanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,  lingkungan  (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
c.    Bergaya hidup sehat: Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan  hidup  yang  sehat  dan  menghindarkan  kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d.   Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.    Kerja keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
f.       Percaya diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g.      Berjiwa wira usaha : Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali   produk   baru,   menentukan   cara   produksi   baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
h.      Berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif : Berpikir  dan  melakukan  sesuatu  secara  kenyataan  atau  logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
i.        Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j.        Ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k.      Cinta ilmu : Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama.
a.       Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain : Sikap tahu dan  mengerti  serta melaksanakan  apa  yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b.      Patuh pada aturan-aturan sosial: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c.       Menghargai karya dan prestasi orang lain : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d.      Santun : Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e.       Demokratis : Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan (peduli sosial dan lingkungan)
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada  lingkungan  alam  di  sekitarnya,  dan  mengembangkan  upaya- upaya  untuk  memperbaiki  kerusakan  alam  yang  sudah  terjadi  dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5)      Nilai kebangsaan
a.       Nasionalis: Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b.      Menghargai keberagaman : Sikap  memberikan  respek/hormat  terhadap  berbagai  macam  hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Dari uraian di atas banyak sekali karakter yang mestinya ditumbuh kembangkan pada peserta didik guna terciptanya watak dan karakter yang bermoral sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003. Terkait dengan hal tersebut, maka nilai-nilai di atas perlu dipilah-pilah dan dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada mata pelajaran yang paling cocok.
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama.  Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan  kepada peserta didik. Yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama, percaya diri, kreatif,mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam upaya menerapkan pendidikan karakter guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai-nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasan diri (Heri Gunawan, 2012 : 38). Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik (component og good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling  (perasaan dan penguatan emosi) dan moral action, (perbuatan atau tindakan langsung yang berpedoman pada moral). Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (Conscience), percaya diri (self asteem), kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), kerendahan hati (humility), cinta kebenaran (Loving the good), pengendalian diri (self control). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act Morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara.
2.3.            Aplikasi Pendidikan Teknohumanistik dalam Membangun Sekolah Berbasis Pendidikan Karakter
Pendidikan teknohumanistik merupakan pendidikan yang mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai keadaban yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Dalam pelaksanaannya pendidikan teknohumanistik mengacu pada pendidikan karakter yang efektif, yang prinsip pelaksanaanya adalah sebagai berikut :
a)      Pendidikan teknohumanistik hendaknya mengembangkan “Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter kemanusiaan yang baik. Dasar pelaksanaan pendidikan teknohumanistik berawal dari prinsip-prinsip filosofi, yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti, seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang baik, yang mendasari penguasaan sain dan teknologi yang makin kompleks.
b)      Karakter dan pendidikan teknohumanistik, harus didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program pendidikan karakter sebagai inti pendidikan teknohumanistik yang umumnya menyentuh ranah kognitif, afektif, psikomotorik dan metakognitif mengandung makna yang lebih luas, dan akhirnya dapat menyangkut aspek perilaku dalam kehidupan moral. Pendidikan teknohumanistik berdasarkan pada penguasaan sain dan teknologi yang dilandasi dasar yang kokoh pada pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar, dan tindakan atas dasar nilai-nilai etika yang inti.
c)      Dalam kaitan dengan pendidikan formal, pendidikan teknohumanistik yang efektif menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan teknohumanistik, seyogyanya disorot melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekolah dan karakter para peserta didik.
d)     Sekolah harus menjadi “a caring community“. Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain.
e)      Untuk mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berperilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari.
f)       Pendidikan teknohumanistik yang efektif  harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan nilai (karakter) dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.
g)      Pendidikan teknohumanistik hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar.
h)      Staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan karakter dan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat membimbing dan dipedomani oleh para peserta didik. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, semua staf sekolah, guru-guru, administrator, konselor, pelatih, sekretaris, pekerja kantin, alat-alat permainan lapangan, semuanya harus dilibatkan dalam kegiatan belajar, diskusi-diskusi dan berbicara tentang usaha-usaha pendidikan nilai (karakter). Semua orang dewasa hendaknya menjadi model dari nilai-nilai inti dalam setiap perilakunya dan memberi manfaat pada kesempatan-kesempatan lain yang mereka miliki untuk mempengaruhi peserta didik, dengan siapa saja mereka bertemu. Kedua, nilai-nilai dan norma-norma yang sama yang membentuk kehidupan para peserta didik hendaknya terbentuk dalam kehidupan bersama dengan orang dewasa dalam masyarakat sekolah. Ketiga, sekolah hendaknya menemukan dan menjaga refleksi-refleksi staf pada masalah-masalah moral. Staf sekolah, melalui pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan dukungan kelompok-kelompok yang lebih kecil, harus secara reguler dilaksanakan.
i)        Pendidikan teknohumanistik meminta kepemimpinan moral dari staf dan para peserta didik. Para peserta didik hendaknya juga dibawa ke dalam peran-peran kepemimpinan moral melalui organisasi peserta didik, program-program penengahan terhadap konflik-konflik dalam kelompok teman sejawat, tutorial lintas usia dan lain-lain.
j)        Sekolah mesti melibatkan orang tua dan anggota-anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembentukan dan pengembangan nilai-nilai tentang harkat kemanusiaan peserta didik. Misi suatu pendidikan teknohumanistik harus menyebutkan secara benar dan nyata mengenai pengembangan sain dan teknologi yang sesuai dengan harkat kemanusiaan demi kesejahtraan manusia itu sendiri. Jadi dimensi aksiologi keilmuan harus dipegang teguh untuk hal ini. Sekolah (pendidikan formal) yang merupakan tempat stategis untuk mentranspormasikan sain dan teknologi, dan orang tua sebagai pendidik pertama dan terpenting bagi anak-anak harus bekerja sama saling bahu membahu. Kemudian, sekolah harus berusaha pada setiap tahap untuk berkomunikasi dengan orang tua tentang tujuan-tujuan sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan pendidikan teknohumanistik, dan bagaimana keluarga dapat membantunya. Untuk membina kerjasama antara sekolah dan orang tua di rumah, maka sekolah hendaknya menjadi proaktif dalam melibatkan orang tua peserta didik dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan.
k)      Penilaian pada pendidikan teknohumanistik hendaknya mengukur komitmen dan kondisi sekolah, berfungsinya staf sekolah sebagai pendidik-pendidik teknohumanistik dan diperluas pada penampilan karakter yang baik pada para peserta didik. Pendidikan teknohumanistik yang efektif harus mengupayakan untuk mengukur pengaruh program-program sekolah terhadap perkembangan moral peserta didik (https://nyomandantes.wordpress.com/?s=tekno).
Pendidikan teknohumanistik mencangkup tiga komponen penting yaitu penguasaan sain-teknologi, kebijakan dan kebaikan yang merupakan realisasi dari pendidikan karakter. Pendidikan tentang kebaikan merupakan dasar demokrasi. Pendidikan tentang nilai dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu diefektifkan karena adanya berbagai pengaruh negatif yang dapat mempengaruhi perilaku peserta didik seperti kecenderungan perilaku menyimpang dari peserta didik. Terdapat dua pilar utama dalam pendidikan teknohumanistik yaitu “respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang dibelajarkan, antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterbukaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), self-discipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu), cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona, 1991:43-45).
Terkait dengan penerapan pendidikan teknohumanistik berbasis pendidikan karakter maka sangat relevan bila teknohumanistik tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan watak dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini tidak terlepas karena nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan karakter.   Pendidikan teknohumanistik dapat membantu peserta didik menjadi bijak dan menuntun menjadi orang yang baik, berbasis pada nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia serta mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat.
Penerapan yang efektif dari Pendidikan teknohumanistik akan menjadikan sekolah sebagai ”a caring community” yaitu sekolah dapat menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain. Pendidikan teknohumanistik diperlukan guna mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai moral yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan dukungan dari semua warga sekolah baik itu seorang pendidik (guru), tenaga kependidikan, kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan lain sebagainya, harus memiliki kemampuan untuk mempersonafikasikan nilai-nilai etika kemanusiaan. Jadi pada prinsipnya untuk membangun sekolah berkarakter (pendidikan karakter) dapat dilakukan dengan cara menerapkan pendidikan teknohumanistik.



BAB III
PENUTUP
3.1.     Simpulan
3.1.1.      Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh sradha dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
3.1.2.      Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1) Nilai-nilai  perilaku  manusia  yang  berhubungan  dengan  Tuhan  Yang Maha Esa, 2) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, 3) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama manusia, 4) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan, dan 5) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan.
3.1.3.      Pendidikan teknohumanistik berbasis pendidikan karakter sangat relevan diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan watak dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini tidak terlepas karena nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan karakter.
3.2.     Saran
Demi terciptanya pendidikan karakter yang kuat khususnya dalam dunia pendidikan (sekolah) diperlukan upaya, niat yang kuat serta sinergi seluruh warga sekolah bersama-sama dengan masyarakat, dan keluarga dari peserta didik. Diharapkan dengan praktek pendidikan teknohumanistik dapat meningkatkan attitude dari peserta didik sehingga memiliki tata susila yang baik dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Amin. Ahmad, 1995.  Etika (Ilmu akhlak), Jakarta: Bulan Bintang.
Buchori, M., 2000. Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.
Degeng, S Nyoman, 1989. Taksonomi Variabel , Jakarta : Depdikbud  .
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.  Jakarta: Kemendiknas.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Gunanjar Ari Agustian, 2006.  Rahasia Membangkitkan emosional Spiritual Quetiont Power,  Jakarta : Arga.
Hasan, S. Hamid, 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Henry, R. 1983. The Psychodinamic: Foundation of Morality. New ork: Basel.
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter (Konsep dan Implementasi), Bandung : Alfabeta.
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Koyan, I.W. 2000. Pendidikan Moral: Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Proyek PGSM, Ditjen Dikti.
Koyan, I.W. 2004. Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Komprehensip.
Masnur Muslih, 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Munir Abdullah, 2010. Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pedagogia.
Thomas Lickona, 1992. Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.
Wiyani, Novan Ardy. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia.



 

1 komentar:

  1. Did you hear there's a 12 word phrase you can speak to your crush... that will trigger intense emotions of love and instinctual attractiveness for you buried within his chest?

    Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, cherish and care for you with his entire heart...

    ====> 12 Words That Trigger A Man's Love Instinct

    This impulse is so hardwired into a man's mind that it will drive him to try better than ever before to to be the best lover he can be.

    Matter-of-fact, fueling this all-powerful impulse is so mandatory to achieving the best ever relationship with your man that as soon as you send your man a "Secret Signal"...

    ...You will soon find him expose his mind and heart to you in such a way he never experienced before and he'll see you as the only woman in the world who has ever truly attracted him.

    BalasHapus