BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat
Pendidikan Karakter Dan Tujuan Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta
Didik
A.
Hakikat
Pendidikan Karakter
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam
perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau
pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya
pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam
lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 1992:4). Coon (dalam Zubaedi, 2011:8) mendefinisikan karakter
sebagai suatu penilaian
subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut
kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima masyarakat. Karakter merupakan keseluruhan kodrati dan
disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendifinisikan seseorang
individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal
dalam cara berfikir dan bertindak.
Lickona
(1992:12) menyebutkan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang
memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Pendidikan
karakter menerut Lickona mengandung tiga unsure pokok, yaitu mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan
melakukan kebaikan (doing the good). Sementara itu Muclas Samani dan
Hariyanto (2011:46) menyatakan pendidikan karakter adalah upaya terencana
menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan
mengiternalisasikan nilai-nilai sehingga
peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Semetara itu Mulyasa (2011:9)
berpendapat pendidikan karakter
menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan. Pendidikan karakter mempunyai tingkatan yang
lebih tinggi dengan pendidikan budi perkerti. Hal ini ditunjukan dengan ruang
lingkup pelaksanaan yang tidak terbatas pada proses pembelajaran.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai “the deliberate use of
all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus berkarakter.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak
peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang
banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pada
umumnya orang yang berkarakter dalam merespons situasi secara bermoral dapat
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Keberhasilan Karakter adalah, bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat,
temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan
pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan.
B.
Tujuan
Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta Didik
Pendidikan
karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh sradha dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak hanya
otaknya namun juga
cerdas secara emosi.
Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa
depan. Dengan kecerdasan emosi,
seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi
segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Sedangkan menurut
Dharma dkk (2011:9), tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi
pengetahuan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam
prilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah
lulus dari sekolah). Dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu dan seimbang. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral,
bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembag dinamis, beroreantasi
pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Heri Gunawan, 2012:30).
Secara Umum
pendidikan karakter menurut pemerintah bertujuan sebagai berikut :
a.
Membentuk manusia yang bermoral
Pendidikan karakter diharapkan
mampu untuk mengatasi terjadinya dekadensi
moral di tengah-tengah masyarakat seperti merebaknya aksi-aksi
kekerasan, tawuran massa, pembunuhan, pemerkosaan, perilaku yang menjurus pada tindak
kriminalitas dan lain-lain.
b.
Membentuk manusia yang cerdas dan rasional
Pendidikan
karakter tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang bermoral,
beretika dan berakhlak, melainkan juga membentuk manusia yang cerdas dan
rasional, mengambil keputusan yang tepat, serta cerdas dalam memanfaatkan
potensi yang dimilikinya. Kecerdasan dalam memanfaakan potensi diri dan bersikap rasional merupakan ciri orang yang berkepribadian dan
berkarakter. Inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini, yakni tatanan masyarakat yang
cerdas dan rasional.
c. Membentuk
manusia yang inovatif dan suka bekerja keras
Pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan untuk menanamkan semangat suka bekerja keras,
disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan
mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. Oleh karena itu, pendidikan
karakter bertujuan mencetak generasi bangsa agar tumbuh menjadi pribadi yang
inovatif dan mau bekerja keras.
d. Membentuk
manusia yang optimis dan percaya diri
Sikap optimis
dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik
sejak dini. Kurangnya sikap optimis dan
percaya diri menjadi faktor yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat untuk dapat bersaing menciptakan kemajuan
disegala bidang. Pada masa depan, tentu
saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh
percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi. Penyelenggaraan pendidikan
karakter merupakan salah satu langkah yang sangat tepat untuk membentuk
kepribadian peserta didik menjadi pribadi yang optimis dan percaya diri. Sejak
sekarang, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk sekedar mengejar nilai
namun juga membekalinya dengan wawasan mengenai cara berperilaku di
tengah-tengah lingkungan, keluarga dan masyarakat
e. Membentuk
manusia yang berjiwa patriot
Salah satu
prinsip yang dimiliki oleh konsep pendidikan karakter adalah terbinanya sikap
cinta tanah air. Dalam hal ini yang terpenting adalah kerelaan untuk berjuang,
berkorban serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang
membutuhkan. Harus kita akui bahwa sikap tolong-menolong dan semangat juang
untuk saling meberikan bantuan sudah
semakin luntur dari kehidupan masyarakat.
Terkait dengan
tujuan dari pendidikan karakter tersebut, maka tugas pendidik yang terpenting
di semua jenjang pendidikan tidak hanya terbatas pada pemenuhan otak anak
dengan berbagai ilmu pengetahuan semata. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan
secara menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh
karenanya, pendidik harus mampu
menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik
sesuai dengan etika dan moral yang berlaku di masyarakat.
Karakter yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, sebab usia dini
merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar
mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini,
akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu,
menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang sangat strategis.
Pembentukan
karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang
memerlukan latihan otot-otot secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan
kuat. Selain itu keberhasilan pendidikan
karakter ini juga harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan
dan sosialisasi yang baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian,
pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat
mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat
mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik,
sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan
seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh.
Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga
dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala
persoalan dan tantangan dalam hidupnya.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, Sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan
tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian, ternyata kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20 persen oleh hard skill dan sisanya
80 persen oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pada saat
menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan
diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakterya.
Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari,
maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam
pendidikan dan pengajarannya.
2.2.
Nilai-Nilai
Yang Terkandung Dalam Pendidikan Karakter Yang Perlu Ditumbuh Kembangkan Pada
Peserta Didik
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar
manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang
bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Menurut para
ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Tuhan
dan segala ciptaan-Nya, bertanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta
damai, dan cinta persatuan.
Pendidikan
karakter dianggap sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan
dilakukan dalam tindakan nyata. Tampak di sini terdapat unsur pembentukan nilai
tersebut dan sikap
yang didasari pada
pengetahuan untuk melakukannya. Nilai-nilai
itu merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara
lebih baik (learning to live together).
Nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan
sesama, diri sendiri (learning to be),
hidup bernegara, lingkungan dan Tuhan (Masnur Muslih, 2011:67). Tentu saja
dalam penanaman nilai tersebut membutuhkan tiga aspek, baik kognitif, afektif
maupun psikomotorik.
Lebih lanjut,
Kemendiknas (dalam Heri Gunawan, 2012:32) melansir bahwa berdasarkan kajian
nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik,
dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang
dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1) Nilai
karakter dalam hubungan dengan Tuhan (religius)
Pikiran,
perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada
nilai-nilai ajaran agamanya.
2) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. Jujur:
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap
diri dan pihak lain.
b. Bertanggung
jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
c. Bergaya
hidup sehat: Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam
menciptakan hidup yang
sehat dan menghindarkan
kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d. Disiplin:
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
e. Kerja
keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan
sebaik-baiknya.
f. Percaya
diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya
setiap keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa
wira usaha : Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat
mengenali produk baru,
menentukan cara produksi
baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta
mengatur permodalan operasinya.
h. Berfikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif : Berpikir
dan melakukan sesuatu
secara kenyataan atau
logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa
yang telah dimiliki.
i.
Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j.
Ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k. Cinta
ilmu : Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan sesama.
a. Sadar
akan hak dan kewajiban diri dan orang lain : Sikap tahu dan mengerti
serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang
lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh
pada aturan-aturan sosial: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai
karya dan prestasi orang lain : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
d. Santun
: Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis
: Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
4) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan lingkungan (peduli sosial dan lingkungan)
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya- upaya
untuk memperbaiki kerusakan
alam yang sudah
terjadi dan selalu ingin memberi
bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5) Nilai
kebangsaan
a. Nasionalis:
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai
keberagaman : Sikap memberikan respek/hormat
terhadap berbagai macam
hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Dari uraian di
atas banyak sekali karakter yang mestinya ditumbuh kembangkan pada peserta
didik guna terciptanya watak dan karakter yang bermoral sesuai dengan amanat UU
No. 20 Tahun 2003. Terkait dengan hal tersebut, maka nilai-nilai di atas perlu
dipilah-pilah dan dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada mata
pelajaran yang paling cocok.
Pijakan utama
yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter
ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada beberapa nilai
karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada peserta didik. Yakni rasa cinta kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama, percaya diri, kreatif,mau bekerja
keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah
hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam
upaya menerapkan pendidikan karakter guru harus berusaha menumbuhkan
nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar
pengajaran dan wacana.
Beberapa
pendapat lain menyatakan bahwa nilai-nilai karakter dasar yang harus diajarkan
kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin,
visioner, adil dan punya integritas. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter
tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak
atau tinggi (yang bersifat tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan
karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting),
dan kebiasaan (habit). Seseorang yang
memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan
pengetahuaanya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan
kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasan diri
(Heri Gunawan, 2012 : 38). Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik (component og good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan dan penguatan emosi) dan moral action, (perbuatan atau tindakan
langsung yang berpedoman pada moral). Hal ini diperlukan agar peserta didik dan
atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut
sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan)
nilai-nilai kebajikan.
Dimensi-dimensi
yang termasuk dalam moral knowing
yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut
pandang (perspective taking), logika
moral (moral reasoning), keberanian
mengambil sikap (decision making),
dan pengenalan diri (self knowledge).
Moral feeling merupakan penguatan
aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu
kesadaran akan jati diri (Conscience),
percaya diri (self asteem), kepekaan
terhadap derita orang lain (empathy),
kerendahan hati (humility), cinta
kebenaran (Loving the good),
pengendalian diri (self control). Moral action merupakan perbuatan atau
tindakan moral yang merupakan hasil (outcome)
dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik (act Morally)
maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan
karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara
komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat
dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan
nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya,
baik terhadap Tuhan, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara.
2.3.
Aplikasi
Pendidikan Teknohumanistik dalam Membangun Sekolah Berbasis Pendidikan Karakter
Pendidikan
teknohumanistik merupakan pendidikan yang mentranspormasikan sain-teknologi dan
nilai-nilai keadaban yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat
kemanusiaan. Dalam pelaksanaannya pendidikan teknohumanistik mengacu pada
pendidikan karakter yang efektif, yang prinsip pelaksanaanya adalah sebagai
berikut :
a) Pendidikan
teknohumanistik hendaknya mengembangkan “Core
Ethical Values” sebagai basis dari karakter kemanusiaan yang baik. Dasar
pelaksanaan pendidikan teknohumanistik berawal dari prinsip-prinsip filosofi,
yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti,
seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat
pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang
baik, yang mendasari penguasaan sain dan teknologi yang makin kompleks.
b) Karakter
dan pendidikan teknohumanistik, harus didefinisikan secara komprehensif,
termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program pendidikan karakter
sebagai inti pendidikan teknohumanistik yang umumnya menyentuh ranah kognitif,
afektif, psikomotorik dan metakognitif mengandung makna yang lebih luas, dan
akhirnya dapat menyangkut aspek perilaku dalam kehidupan moral. Pendidikan
teknohumanistik berdasarkan pada penguasaan sain dan teknologi yang dilandasi
dasar yang kokoh pada pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar,
dan tindakan atas dasar nilai-nilai etika yang inti.
c) Dalam
kaitan dengan pendidikan formal, pendidikan teknohumanistik yang efektif
menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan
komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan
sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan teknohumanistik,
seyogyanya disorot melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu
yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekolah dan karakter para peserta
didik.
d) Sekolah
harus menjadi “a caring community“.
Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang
memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah
mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta
kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai
masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa
kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain.
e) Untuk
mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk
berperilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para
peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik
sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak
kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung
jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari.
f) Pendidikan
teknohumanistik yang efektif harus
melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan
semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan
nilai (karakter) dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan
saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.
g) Pendidikan
teknohumanistik hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para
peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang
baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk
mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar.
h) Staf
sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat
belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan
karakter dan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan
berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat
membimbing dan dipedomani oleh para peserta didik. Dalam hubungan ini, ada tiga
hal yang perlu diperhatikan. Pertama, semua staf sekolah, guru-guru,
administrator, konselor, pelatih, sekretaris, pekerja kantin, alat-alat
permainan lapangan, semuanya harus dilibatkan dalam kegiatan belajar,
diskusi-diskusi dan berbicara tentang usaha-usaha pendidikan nilai (karakter).
Semua orang dewasa hendaknya menjadi model dari nilai-nilai inti dalam setiap
perilakunya dan memberi manfaat pada kesempatan-kesempatan lain yang mereka
miliki untuk mempengaruhi peserta didik, dengan siapa saja mereka bertemu.
Kedua, nilai-nilai dan norma-norma yang sama yang membentuk kehidupan para
peserta didik hendaknya terbentuk dalam kehidupan bersama dengan orang dewasa
dalam masyarakat sekolah. Ketiga, sekolah hendaknya menemukan dan menjaga refleksi-refleksi
staf pada masalah-masalah moral. Staf sekolah, melalui pertemuan-pertemuan atau
rapat-rapat dengan dukungan kelompok-kelompok yang lebih kecil, harus secara
reguler dilaksanakan.
i)
Pendidikan teknohumanistik meminta kepemimpinan
moral dari staf dan para peserta didik. Para peserta didik hendaknya juga
dibawa ke dalam peran-peran kepemimpinan moral melalui organisasi peserta
didik, program-program penengahan terhadap konflik-konflik dalam kelompok teman
sejawat, tutorial lintas usia dan lain-lain.
j)
Sekolah mesti melibatkan orang tua dan
anggota-anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembentukan dan
pengembangan nilai-nilai tentang harkat kemanusiaan peserta didik. Misi suatu
pendidikan teknohumanistik harus menyebutkan secara benar dan nyata mengenai
pengembangan sain dan teknologi yang sesuai dengan harkat kemanusiaan demi
kesejahtraan manusia itu sendiri. Jadi dimensi aksiologi keilmuan harus
dipegang teguh untuk hal ini. Sekolah (pendidikan formal) yang merupakan tempat
stategis untuk mentranspormasikan sain dan teknologi, dan orang tua sebagai
pendidik pertama dan terpenting bagi anak-anak harus bekerja sama saling bahu
membahu. Kemudian, sekolah harus berusaha pada setiap tahap untuk berkomunikasi
dengan orang tua tentang tujuan-tujuan sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam
rangka pengembangan pendidikan teknohumanistik, dan bagaimana keluarga dapat
membantunya. Untuk membina kerjasama antara sekolah dan orang tua di rumah,
maka sekolah hendaknya menjadi proaktif dalam melibatkan orang tua peserta
didik dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan.
k) Penilaian
pada pendidikan teknohumanistik hendaknya mengukur komitmen dan kondisi
sekolah, berfungsinya staf sekolah sebagai pendidik-pendidik teknohumanistik
dan diperluas pada penampilan karakter yang baik pada para peserta didik.
Pendidikan teknohumanistik yang efektif harus mengupayakan untuk mengukur
pengaruh program-program sekolah terhadap perkembangan moral peserta didik (
https://nyomandantes.wordpress.com/?s=tekno).
Pendidikan
teknohumanistik mencangkup tiga komponen penting yaitu penguasaan
sain-teknologi, kebijakan dan kebaikan yang merupakan realisasi dari pendidikan
karakter. Pendidikan tentang kebaikan merupakan dasar demokrasi. Pendidikan
tentang nilai dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu
diefektifkan karena adanya berbagai pengaruh negatif yang dapat mempengaruhi
perilaku peserta didik seperti kecenderungan perilaku menyimpang dari peserta
didik. Terdapat dua pilar utama dalam pendidikan teknohumanistik yaitu “respect and responsibility” (rasa hormat
dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang dibelajarkan,
antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterbukaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), self-discipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu), cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona,
1991:43-45).
Terkait dengan
penerapan pendidikan teknohumanistik berbasis pendidikan karakter maka sangat
relevan bila teknohumanistik tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan
khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan watak
dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini tidak terlepas karena
nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan karakter. Pendidikan teknohumanistik dapat membantu
peserta didik menjadi bijak dan menuntun menjadi orang yang baik, berbasis pada
nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia serta mengembangkan
kebaikan individu dan masyarakat.
Penerapan yang
efektif dari Pendidikan teknohumanistik akan menjadikan sekolah sebagai ”a caring community” yaitu sekolah dapat
menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang
baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat
banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat
berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang
bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa
hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain. Pendidikan teknohumanistik
diperlukan guna mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai moral yang
didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Untuk mencapai hal
tersebut diperlukan dukungan dari semua warga sekolah baik itu seorang pendidik
(guru), tenaga kependidikan, kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan lain
sebagainya, harus memiliki kemampuan untuk mempersonafikasikan nilai-nilai
etika kemanusiaan. Jadi pada prinsipnya untuk membangun sekolah berkarakter (pendidikan
karakter) dapat dilakukan dengan cara menerapkan pendidikan teknohumanistik.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
3.1.1. Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter pada
intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh sradha
dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
3.1.2. Berdasarkan
kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika
akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai
karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1) Nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, 2) Nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, 3) Nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan sesama manusia, 4) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan lingkungan, dan 5) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan kebangsaan.
3.1.3. Pendidikan
teknohumanistik berbasis pendidikan karakter sangat relevan diterapkan dalam
dunia pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan
menumbuhkembangkan watak dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini
tidak terlepas karena nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan
karakter.
3.2.
Saran
Demi
terciptanya pendidikan karakter yang kuat khususnya dalam dunia pendidikan
(sekolah) diperlukan upaya, niat yang kuat serta sinergi seluruh warga sekolah
bersama-sama dengan masyarakat, dan keluarga dari peserta didik. Diharapkan
dengan praktek pendidikan teknohumanistik dapat meningkatkan attitude dari
peserta didik sehingga memiliki tata susila yang baik dan sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin. Ahmad, 1995. Etika
(Ilmu akhlak), Jakarta: Bulan Bintang.
Buchori, M.,
2000. Pendidikan Antisipatoris.
Jakarta: Gramedia.
Degeng, S
Nyoman, 1989. Taksonomi Variabel ,
Jakarta : Depdikbud .
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2010. Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta.
Gunanjar Ari
Agustian, 2006. Rahasia Membangkitkan emosional Spiritual Quetiont Power, Jakarta : Arga.
Hasan, S.
Hamid, 2000. Pendekatan Multikultural
untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Henry, R. 1983.
The Psychodinamic: Foundation of Morality.
New ork: Basel.
Heri Gunawan,
2012. Pendidikan Karakter (Konsep dan
Implementasi), Bandung : Alfabeta.
Heri Gunawan,
2012. Pendidikan Karakter Konsep dan
Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Koesoema A,
Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Koyan, I.W. 2000.
Pendidikan Moral: Pendekatan Lintas
Budaya. Jakarta: Proyek PGSM, Ditjen Dikti.
Koyan, I.W.
2004. Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Komprehensip.
Masnur Muslih,
2011. Pendidikan Karakter Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Munir
Abdullah, 2010. Pendidikan Karakter,
Yogyakarta: Pedagogia.
Thomas
Lickona, 1992. Educating For Character:
How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam
Books.
Wiyani, Novan Ardy.
2012. Manajemen Pendidikan Karakter.
Yogyakarta: Pedagogia.