Senin, 29 Mei 2017

NASKAH DHARMA WACANA "SARANA BUNGA DALAM KEGIATAN UPACARA KEAGAMAAN"



Om Swastyastu

Umat Sedharma yang berbahagia, Di era globalisasi ini masyarakat cenderung lebih memilih gaya hidup yang serba mewah. Hal ini sedikit tidaknya juga diakibatkan oleh perkembangan jaman maupun perkembangan teknologi. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat rela menghabiskan waktu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat primer (pokok), skunder (kebutuhan hidup tingkat kedua), maupun yang bersifat tersier (mewah). Kebutuhan hidup yang sesungguhnya masih bisa ditunda menjadi semakin didahulukan karena kebanyakan orang masih belum merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Melihat hal tersebut dapat kita diketahui bahwa kesadaran para masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama sudah mulai menurun. Walaupun bekerja adalah suatu hal yang wajib dalam kehidupan, alangkah baiknya jika waktu bekerja dan waktu sembahyang dapat diseimbangkan sehingga, setelah melakukan ritual persembahyangan para umat beragama akan merasa lebih tenang dalam melakukan aktivitas keseharian yang sering kali menimbulkan kejenuhan dan membuat pikiran menjadi sumpek/stress.
Umat Sedharma yang berbahagia, tahukah mengapa di bali semua kegiatan upacara selalu memakai sarana dari bunga? Baik itu tingkat nistaning nista sampai utamaning utama selalu menggunakan sarana bunga. Kemudian pola hidup masyarkat saat ini yang cendrung praktis dalam kegiatan persembahyangan seperti membeli canang dan bunga, ternyata menimbulkan maraknya penjualan sarana upakara yang telah dipakai kemudian didaur ulang kembali dan dijual oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab termasuk sarana bunga didalamya. Selain itu banyak umat hindu di bali tidak mengetahui peranan bunga dalam persembahyangan, kemudian ada juga yang saya lihat canang yang sudah ditanding sekitar tiga hari kemudian dipakai dalam upacara sehingga bunganya pun agak layu dan kering. Itu menandakan bahwa umat kurang mengetahui bunga bagaimana saja yang baik dihaturka kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian ada juga beberapa umat yang menggunakan bunga yang dilarang dalam persembahyangan. Oleh sebab itu penting bagi saya untuk memberikan atau menyapaikan  dharma wacana ini kehadapan umat sekalian untuk menyampaikan arti dan fungsi bunga serta bunga apa saja yang hendaknya dipakai dalam persembahyangan.
Umat sedharma yang berbahagia,  pertama saya akan menyampaikan arti dan fungsi bunga dalam kegiatan keagamaan. Bunga memiliki dua fungsi yang penting dalam suatu upacara yaitu, berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siwa) dan sebagai sarana persembahan. Bunga sebagai simbul biasanya diletakan pada puncak cangkupan kedua belah telapak tangan pada saat melakukan persembahyangan dan juga disumpangkan di telinga ketika persembahyangan (muspa) yang ke-empat. Sedangkan bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu digunakan untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan atau pada leluhur seperti pada canang, kewangen dan lain sebagainya. Hampir semua upakara / banten mengandung atau berisi bunga baik itu persembahan dari yang sederhana atau tingkat nista sampai yang tingkat utama dalam melaksanakan panca yadnya.
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
Om Puspa Dantaya Namah (puspa)
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)

Yang dimaksud dengan puspa-danta ialah Siwa, atau gelar yang diberikan kepada Siwa. Dari matra di atas penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang Siwa.  Aksata atau biji-bijan berupa beras adalah lambang benih (biji) kumara adalah putra Siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah tuhan itu sendiri. Gandha adalah bau harum yang bersal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu, gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamkan sebagai amerta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amerta yang di dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa sebagai Iswara. Dari mantra di atas yaitu mantram puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud dari Sang Hyang Puspa Danta, yang merupakan gelar yang Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian bunga dapat dikatakan sebagai lambang Siwa dan bunga sebagai sarana persembahan atau sarana pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud banten atau upakara.
Arti bunga dalam lontar Yadnya Prakerti yaitu “Sekare pinako katulusan pikayunan suci” yang artinya bunga itu sebagai lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci. Dalam  Bhagavad Gita bab IX sloka 26 disebutkan bahwa unsur-unsur pokok persembahyangan yang ditunjukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu daun, bunga, buah-buahan, dan air.

Pattram puspam phalam toyam
Yo me bhaktaya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah

Artinya :
Siapapun yang dengan kesunguhan mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari dalam lubuk hatiyang suci aku akan terima.
Dari penjelasan Sri Kresna sebagai Avatara Visnu mengenai unsur-unsur pokok dari persembahyangan yang kemudian berkembang di bali menjadi bentuk upakara, landasan utama yang mendasar dalam melaksanakan upacara dan persembahyangan itu yaitu cinta kasih dan rasa tulus iklas tanpa pamrih meskipun bentuk sangat sederhana. Membuat upacara megah dan besar itu akan baik sekali namun harus berdasarkan ilmu pengetahuan atau tattwa agama serta harus memiliki unsur tulus ikhlas, dan cinta kasih sehingga dapat memunculkan kesucian.  Jadi sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila dilandasi dengan cita kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian sebaliknya persembahan yang serba banyak dan serba mewah, serta semarak jika tidak dilandasi dengan ketulusan hati akan percuma, karena tidak akan ada pahala yang baik bagi mereka yang mempersembahkan dengan rasa pamrih.


Umat Sedharma yang berbahagia, Bunga yang baik digunakan untuk persembahyangan haruslah sesuai dengan sastra hindu serta memiliki nilai kesucian. Dengan demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yadnya. Secara umum, bunga yang baik digunakan antara lain, bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu diingat bunga sebagai sarana dalam upacara yadnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirta panglukatan agar terbebas dari segala jenis kekotoran dan mala.  Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan menurut tattwa hindu antara lain:

  1. Dalam kekawin Siwalatri Kalpa, menyebutkan: bunga menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung, nuduri putih, bunga kutat asoka, bunga cempaka, sroja putih, dan semua bunga yang memiliki kesucian hendaknya dipetik yang demikian.
  2. Dalam lontar Wariga Cemet, dijelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan Atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain Bunga Jepun, Sari, Sincer, Pucuk pucat, Tulud nyuh, Kwanta, Soka kling, Kenyiri putih, Gambir lima, tiga kuncu, sedap malam, anggrek bulan, gunggeng cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bang, jepun sudamala, sruni putih, anggrek madu, sari konta dan masih banyak yang lain.
  3. Dalam naskah Siwa gama ditegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yadnya terutama untuk membuat puspa lingga, serangkaian upacara pitra yadnya yakni untuk memuja upacara pitra dan roh suci leluhur terutama dalam upacara atma wedana (Nyekah) antara lain: Bunga medori putih dan bambu buluh.
  4. Dalam naskah Darsana, menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yadnya adalah bunga tunjung atau bunga teratai. Bunga tunjung atau teratai dikatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma. Ditegaskan pula apabila bunga teratai tidak ada dapat juga menggunakan jenis yang lain.
  5.  Dalam Kitab Jnana Sidhanta, bunga yang mekar dan wangi itu disebutkan sebagai lambang aksara suci. Kemudian bunga yang dipentingkan sebagai lambang keagamaan adalah bunga yang mekar dan berbau wangi.
  6. Dalam Naskah Jawa Kuna Nawa Natya dijelaskan ada bunga yang memiliki pilar yang utama dalam upacara yadnya yaitu Bunga Ratna. Keutamaan bunga ratna ini dijelaskan dalam salah satu episode cerita Adi Parwa. Diceritakan ada dua raksasa besar yang bertapa sangat tkun agar bisa menguasai sorga. Melihat hal tersebut, para dewapun menjadi sangat khawatir dan untuk mengatasi hal tersebut Dewa Brahma menugaskan Dewa  Wiswakarma untuk menciptakan putri cantik guna mengoda tapa kedua raksasa tersebut. Dewa Wiswakarma akhirnya menciptakan putri cantik dengan sarana bunga “ratna dan wijen”. Terciptalah putri yang sangat cantik dengan nama “Tilotama”. Karena saking cantiknya maka dewa-dewa pun menjadi terpesona melihatnya, sampai- sampai Dewa Brahma mengeluarkan catur mukanya untuk dapat melihat putri tersebut dari segala penjuru. Diceritakan Tilotama mengoda tapa dari raksasa Sunda dan Upasunda. Raksasa kembar itupun akhirnya berperang memperebutkan dewi Tilotama. Karema sama-sama sakti maka kedua raksasa tersebutpun meninggal secara bersamaan. Karena jasa bunga ratna tersebut, maka bunga ratnapun mendapat wara nugraha sebagai bunga utama untuk memuja Tuhan, atau sarana yang utama untuk keagamaan. Jadi bunga yang utama itu adalah bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya dan bunga yang seperti itulah yang dapat dipakai sebagai sarana pemujaan.


Umat Sedharma yang berbahagia, adapun bunga yang tidak diperbolehkan sebagai sarana upakara yang dijelaskan dalam beberapa lontar hindu  yaitu sebagai berikut :

  • Dalam Naskah Aji Janantaka menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunannya sebagai sarana dalam pemujaan, sesuai naskah tersebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat wara nugraha dan tidak mohon penglukatan Hyang Siwa sehingga mendapat kutukan untuk digunakan dalam penggunaannya sebagai sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi.
  • Dalam Naskah Agastia Parwa dijelaskan :

“Nihan ikan kembah, tan yogya puja kene rin batara : kembah huleren kemban rurutan inunduh, kembah semutan, kembah layuan naranya alewan mekar – kembah munggah ring seme. Nahan ta lwir nin kemban tan yogya pujakene de nika san satwika kemban uttama ta pujeken ira maran saphala rupa nira, apan magawe ya janma lawan rupa ikan tuhagana muja naranya ”

Yang berarti :
Inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada Bhatara, Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut untuk dipergunakan supaya wajahnya sesuai dengan yang dipersembahkan. Dalam sumber yang sama, juga menegaskan bagaimana kekuatan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bukti sloka sebagai berikut:
“Kunan ikang Stri mahalatanpapirak, tanpajanma, tan wuruh maniwi swani, mogha kinasihan denin laki wisese monke sila nikan nuni: Jnanan bhaktis tu nethe ya, bhakti maswami nuniweh ri dewata ikanuri ndatan tebet bhakti niki, tan upakara phalanin bhaktinya resep. Dumehnye wirupa mwan tanpa Janma. Tan wuruh amehelepa silanya nuni, agilem anujaken kemban tan yogya pujakene, tan aradin, olih bwat jawanya, apan samanke kemban tan Yogya pujekene rin bhatttara”

Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bisa melayani suami, tetapi disayang oleh laki-laki. Dahulu ia itu bakti kepada suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat, karena tidak mempergunakan upakara dalam bhaktinya. Itulah yang menyebabkan ia menjadi buruk rupa dan tidak bangsawan sifatnya. Dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkahnya sopan, ia gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkannya kepada Bhatara. 

Baiklah umat sedharma yang berbahagia, Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan di sini walaupun sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa upakara yadnya maka kurang bermaknalah cetusan rasa bakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bakti itu kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan persembahan upakara yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan, mempersembahkan sarana yadnya yang tidak suci, persembahannya itu cemer (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan (yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga/ kembang/ puspa/ sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan Dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bakti kehadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara. Yadnya yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yadnya itu sendiri.

Umat sedharma yang berbahagia, perlu saya tekankan sekali lagi bahwa bunga itu merupakan simbul dari Tuhan Siwa, lambang dari ketulus ikhlasan pikiran yang suci dan merupakan sarana persembahan. Jadi bunga yang baik untuk dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga yang memiliki daya pesona, memiliki nilai kesucian dan sesuai dengan ajaran agama hindu sedangkan bunga yang tidak layak dipakai adalah bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu, dan bunga yang tumbuh di kuburan serta dua jenis bunga yang dilarang yaitu  jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta.

Melihat pentingnya peranan bunga dalam kegiatan keagamaan maka marilah kita menghaturkan bunga yang sesuai dengan ajaran agama hindu seperti yang telah saya sampaikan tadi. Supaya cetusan rasa bakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa diterima oleh beliau dan memciptakan kebahagiaan, ketentaraman dan kedamaian bagi kita semua.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, kurang lebih saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan akhir kata saya tutup dengan parama santhi.
OM Santhi Santhi Santhi OM

Senin, 08 Mei 2017

Pendidikan Karakter & Pendidikan Technohumanistik (makalah)



 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Hakikat Pendidikan Karakter Dan Tujuan Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta Didik

A.    Hakikat Pendidikan Karakter
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 1992:4). Coon (dalam Zubaedi, 2011:8)  mendefinisikan   karakter  sebagai   suatu   penilaian  subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima masyarakat.   Karakter merupakan keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendifinisikan seseorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal dalam cara berfikir dan bertindak.
Lickona (1992:12)  menyebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Pendidikan karakter menerut Lickona mengandung tiga unsure pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Sementara itu Muclas Samani dan Hariyanto (2011:46) menyatakan pendidikan karakter adalah upaya terencana menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan  mengiternalisasikan  nilai-nilai  sehingga  peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Semetara itu Mulyasa  (2011:9)  berpendapat  pendidikan  karakter  menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan.   Pendidikan karakter mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dengan pendidikan budi perkerti. Hal ini ditunjukan dengan ruang lingkup pelaksanaan yang tidak terbatas pada proses pembelajaran.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pada umumnya orang yang berkarakter dalam merespons situasi secara bermoral dapat dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.   Keberhasilan Karakter adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
B.     Tujuan Pendidikan Karakter Dalam Pembinaan Peserta Didik
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh sradha dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak hanya otaknya  namun  juga  cerdas  secara  emosi.  Kecerdasan  emosi  adalah  bekal terpenting  dalam  mempersiapkan  anak  menyongsong  masa  depan.  Dengan kecerdasan  emosi,  seseorang  akan  dapat  berhasil  dalam  menghadapi  segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sedangkan menurut Dharma dkk (2011:9), tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi pengetahuan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam prilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembag dinamis, beroreantasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Heri Gunawan, 2012:30).


Secara Umum pendidikan karakter menurut pemerintah bertujuan sebagai berikut :
a.         Membentuk manusia yang bermoral
Pendidikan karakter diharapkan mampu untuk mengatasi terjadinya dekadensi  moral di tengah-tengah masyarakat seperti merebaknya aksi-aksi kekerasan, tawuran massa, pembunuhan, pemerkosaan, perilaku yang menjurus pada tindak kriminalitas dan lain-lain.
b.        Membentuk manusia yang cerdas dan rasional
Pendidikan karakter tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang bermoral, beretika dan berakhlak, melainkan juga membentuk manusia yang cerdas dan rasional, mengambil keputusan yang tepat, serta cerdas dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kecerdasan dalam memanfaakan potensi diri  dan bersikap rasional  merupakan ciri orang yang berkepribadian dan berkarakter. Inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia   saat ini, yakni tatanan masyarakat yang cerdas dan rasional.
c.       Membentuk manusia yang inovatif dan suka bekerja keras
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan  untuk menanamkan semangat suka bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter bertujuan mencetak generasi bangsa agar tumbuh menjadi pribadi yang inovatif dan mau bekerja keras.
d.      Membentuk manusia yang optimis dan percaya diri
Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik sejak dini.  Kurangnya sikap optimis dan percaya diri menjadi faktor yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat  untuk dapat bersaing menciptakan kemajuan disegala bidang.  Pada masa depan, tentu saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi. Penyelenggaraan pendidikan karakter merupakan salah satu langkah yang sangat tepat untuk membentuk kepribadian peserta didik menjadi pribadi yang optimis dan percaya diri. Sejak sekarang, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk sekedar mengejar nilai namun juga membekalinya dengan wawasan mengenai cara berperilaku di tengah-tengah lingkungan, keluarga dan masyarakat
e.       Membentuk manusia yang berjiwa patriot
Salah satu prinsip yang dimiliki oleh konsep pendidikan karakter adalah terbinanya sikap cinta tanah air. Dalam hal ini yang terpenting adalah kerelaan untuk berjuang, berkorban serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Harus kita akui bahwa sikap tolong-menolong dan semangat juang untuk saling meberikan bantuan  sudah semakin luntur dari kehidupan masyarakat.
Terkait dengan tujuan dari pendidikan karakter tersebut, maka tugas pendidik yang terpenting di semua jenjang pendidikan tidak hanya terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan semata. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan secara menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya,  pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik sesuai dengan etika dan moral yang berlaku di masyarakat.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, sebab usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang sangat strategis.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan latihan otot-otot secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.  Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian, pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya. 
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, Sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.


2.2.            Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pendidikan Karakter Yang Perlu Ditumbuh Kembangkan Pada Peserta Didik
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Tuhan dan segala ciptaan-Nya, bertanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendidikan karakter dianggap sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Tampak di sini terdapat unsur pembentukan  nilai  tersebut  dan  sikap  yang didasari  pada pengetahuan  untuk melakukannya. Nilai-nilai itu merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara lebih baik (learning to live together). Nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan sesama, diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, lingkungan dan Tuhan (Masnur Muslih, 2011:67). Tentu saja dalam penanaman nilai tersebut membutuhkan tiga aspek, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Lebih lanjut, Kemendiknas (dalam Heri Gunawan, 2012:32) melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1)      Nilai karakter dalam hubungan dengan Tuhan (religius)
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ajaran agamanya.
2)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.    Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
b.    Bertanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,  lingkungan  (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
c.    Bergaya hidup sehat: Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan  hidup  yang  sehat  dan  menghindarkan  kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d.   Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.    Kerja keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
f.       Percaya diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g.      Berjiwa wira usaha : Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali   produk   baru,   menentukan   cara   produksi   baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
h.      Berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif : Berpikir  dan  melakukan  sesuatu  secara  kenyataan  atau  logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
i.        Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j.        Ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k.      Cinta ilmu : Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama.
a.       Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain : Sikap tahu dan  mengerti  serta melaksanakan  apa  yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b.      Patuh pada aturan-aturan sosial: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c.       Menghargai karya dan prestasi orang lain : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d.      Santun : Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e.       Demokratis : Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan (peduli sosial dan lingkungan)
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada  lingkungan  alam  di  sekitarnya,  dan  mengembangkan  upaya- upaya  untuk  memperbaiki  kerusakan  alam  yang  sudah  terjadi  dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5)      Nilai kebangsaan
a.       Nasionalis: Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b.      Menghargai keberagaman : Sikap  memberikan  respek/hormat  terhadap  berbagai  macam  hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Dari uraian di atas banyak sekali karakter yang mestinya ditumbuh kembangkan pada peserta didik guna terciptanya watak dan karakter yang bermoral sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003. Terkait dengan hal tersebut, maka nilai-nilai di atas perlu dipilah-pilah dan dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada mata pelajaran yang paling cocok.
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama.  Meskipun demikian, ada beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan  kepada peserta didik. Yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama, percaya diri, kreatif,mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam upaya menerapkan pendidikan karakter guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai-nilai karakter dasar yang harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasan diri (Heri Gunawan, 2012 : 38). Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik (component og good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling  (perasaan dan penguatan emosi) dan moral action, (perbuatan atau tindakan langsung yang berpedoman pada moral). Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (Conscience), percaya diri (self asteem), kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), kerendahan hati (humility), cinta kebenaran (Loving the good), pengendalian diri (self control). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act Morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara.
2.3.            Aplikasi Pendidikan Teknohumanistik dalam Membangun Sekolah Berbasis Pendidikan Karakter
Pendidikan teknohumanistik merupakan pendidikan yang mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai keadaban yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Dalam pelaksanaannya pendidikan teknohumanistik mengacu pada pendidikan karakter yang efektif, yang prinsip pelaksanaanya adalah sebagai berikut :
a)      Pendidikan teknohumanistik hendaknya mengembangkan “Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter kemanusiaan yang baik. Dasar pelaksanaan pendidikan teknohumanistik berawal dari prinsip-prinsip filosofi, yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti, seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang baik, yang mendasari penguasaan sain dan teknologi yang makin kompleks.
b)      Karakter dan pendidikan teknohumanistik, harus didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program pendidikan karakter sebagai inti pendidikan teknohumanistik yang umumnya menyentuh ranah kognitif, afektif, psikomotorik dan metakognitif mengandung makna yang lebih luas, dan akhirnya dapat menyangkut aspek perilaku dalam kehidupan moral. Pendidikan teknohumanistik berdasarkan pada penguasaan sain dan teknologi yang dilandasi dasar yang kokoh pada pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar, dan tindakan atas dasar nilai-nilai etika yang inti.
c)      Dalam kaitan dengan pendidikan formal, pendidikan teknohumanistik yang efektif menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan teknohumanistik, seyogyanya disorot melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekolah dan karakter para peserta didik.
d)     Sekolah harus menjadi “a caring community“. Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain.
e)      Untuk mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berperilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari.
f)       Pendidikan teknohumanistik yang efektif  harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan nilai (karakter) dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.
g)      Pendidikan teknohumanistik hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar.
h)      Staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan karakter dan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat membimbing dan dipedomani oleh para peserta didik. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, semua staf sekolah, guru-guru, administrator, konselor, pelatih, sekretaris, pekerja kantin, alat-alat permainan lapangan, semuanya harus dilibatkan dalam kegiatan belajar, diskusi-diskusi dan berbicara tentang usaha-usaha pendidikan nilai (karakter). Semua orang dewasa hendaknya menjadi model dari nilai-nilai inti dalam setiap perilakunya dan memberi manfaat pada kesempatan-kesempatan lain yang mereka miliki untuk mempengaruhi peserta didik, dengan siapa saja mereka bertemu. Kedua, nilai-nilai dan norma-norma yang sama yang membentuk kehidupan para peserta didik hendaknya terbentuk dalam kehidupan bersama dengan orang dewasa dalam masyarakat sekolah. Ketiga, sekolah hendaknya menemukan dan menjaga refleksi-refleksi staf pada masalah-masalah moral. Staf sekolah, melalui pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan dukungan kelompok-kelompok yang lebih kecil, harus secara reguler dilaksanakan.
i)        Pendidikan teknohumanistik meminta kepemimpinan moral dari staf dan para peserta didik. Para peserta didik hendaknya juga dibawa ke dalam peran-peran kepemimpinan moral melalui organisasi peserta didik, program-program penengahan terhadap konflik-konflik dalam kelompok teman sejawat, tutorial lintas usia dan lain-lain.
j)        Sekolah mesti melibatkan orang tua dan anggota-anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembentukan dan pengembangan nilai-nilai tentang harkat kemanusiaan peserta didik. Misi suatu pendidikan teknohumanistik harus menyebutkan secara benar dan nyata mengenai pengembangan sain dan teknologi yang sesuai dengan harkat kemanusiaan demi kesejahtraan manusia itu sendiri. Jadi dimensi aksiologi keilmuan harus dipegang teguh untuk hal ini. Sekolah (pendidikan formal) yang merupakan tempat stategis untuk mentranspormasikan sain dan teknologi, dan orang tua sebagai pendidik pertama dan terpenting bagi anak-anak harus bekerja sama saling bahu membahu. Kemudian, sekolah harus berusaha pada setiap tahap untuk berkomunikasi dengan orang tua tentang tujuan-tujuan sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan pendidikan teknohumanistik, dan bagaimana keluarga dapat membantunya. Untuk membina kerjasama antara sekolah dan orang tua di rumah, maka sekolah hendaknya menjadi proaktif dalam melibatkan orang tua peserta didik dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan.
k)      Penilaian pada pendidikan teknohumanistik hendaknya mengukur komitmen dan kondisi sekolah, berfungsinya staf sekolah sebagai pendidik-pendidik teknohumanistik dan diperluas pada penampilan karakter yang baik pada para peserta didik. Pendidikan teknohumanistik yang efektif harus mengupayakan untuk mengukur pengaruh program-program sekolah terhadap perkembangan moral peserta didik (https://nyomandantes.wordpress.com/?s=tekno).
Pendidikan teknohumanistik mencangkup tiga komponen penting yaitu penguasaan sain-teknologi, kebijakan dan kebaikan yang merupakan realisasi dari pendidikan karakter. Pendidikan tentang kebaikan merupakan dasar demokrasi. Pendidikan tentang nilai dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu diefektifkan karena adanya berbagai pengaruh negatif yang dapat mempengaruhi perilaku peserta didik seperti kecenderungan perilaku menyimpang dari peserta didik. Terdapat dua pilar utama dalam pendidikan teknohumanistik yaitu “respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang dibelajarkan, antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterbukaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), self-discipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu), cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona, 1991:43-45).
Terkait dengan penerapan pendidikan teknohumanistik berbasis pendidikan karakter maka sangat relevan bila teknohumanistik tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan watak dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini tidak terlepas karena nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan karakter.   Pendidikan teknohumanistik dapat membantu peserta didik menjadi bijak dan menuntun menjadi orang yang baik, berbasis pada nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia serta mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat.
Penerapan yang efektif dari Pendidikan teknohumanistik akan menjadikan sekolah sebagai ”a caring community” yaitu sekolah dapat menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain. Pendidikan teknohumanistik diperlukan guna mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai moral yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan dukungan dari semua warga sekolah baik itu seorang pendidik (guru), tenaga kependidikan, kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan lain sebagainya, harus memiliki kemampuan untuk mempersonafikasikan nilai-nilai etika kemanusiaan. Jadi pada prinsipnya untuk membangun sekolah berkarakter (pendidikan karakter) dapat dilakukan dengan cara menerapkan pendidikan teknohumanistik.



BAB III
PENUTUP
3.1.     Simpulan
3.1.1.      Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh sradha dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
3.1.2.      Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1) Nilai-nilai  perilaku  manusia  yang  berhubungan  dengan  Tuhan  Yang Maha Esa, 2) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, 3) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama manusia, 4) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan, dan 5) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan.
3.1.3.      Pendidikan teknohumanistik berbasis pendidikan karakter sangat relevan diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya bagi sekolah-sekolah guna meningkatkan dan menumbuhkembangkan watak dan moral yang baik bagi semua warga sekolah. Hal ini tidak terlepas karena nafas dari pendidikan teknohumanistik adalah pendidikan karakter.
3.2.     Saran
Demi terciptanya pendidikan karakter yang kuat khususnya dalam dunia pendidikan (sekolah) diperlukan upaya, niat yang kuat serta sinergi seluruh warga sekolah bersama-sama dengan masyarakat, dan keluarga dari peserta didik. Diharapkan dengan praktek pendidikan teknohumanistik dapat meningkatkan attitude dari peserta didik sehingga memiliki tata susila yang baik dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Amin. Ahmad, 1995.  Etika (Ilmu akhlak), Jakarta: Bulan Bintang.
Buchori, M., 2000. Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.
Degeng, S Nyoman, 1989. Taksonomi Variabel , Jakarta : Depdikbud  .
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.  Jakarta: Kemendiknas.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Gunanjar Ari Agustian, 2006.  Rahasia Membangkitkan emosional Spiritual Quetiont Power,  Jakarta : Arga.
Hasan, S. Hamid, 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Henry, R. 1983. The Psychodinamic: Foundation of Morality. New ork: Basel.
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter (Konsep dan Implementasi), Bandung : Alfabeta.
Heri Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Koyan, I.W. 2000. Pendidikan Moral: Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Proyek PGSM, Ditjen Dikti.
Koyan, I.W. 2004. Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Komprehensip.
Masnur Muslih, 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Munir Abdullah, 2010. Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pedagogia.
Thomas Lickona, 1992. Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.
Wiyani, Novan Ardy. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pedagogia.