SEKILAS RONG TIGA KEMULAN
1. Dasar
Hukum dan Esensi dari Pembuatan Bangunan Kemulan
Rong Tiga ditinjau dari Unsur Satyam
Sebagai disebutkan oleh seserang tokoh
seni yang berwawasan sepritual yaitu Drs. Ida Wayan Oka Granoka, bahwa agama
adalah seni dan seni adalah agama. Seni dan agama indentik. Kreativitas
kesenian adalah nyolahang sastra, (dalam Suamba, 2003 : 3). Ungkapan di atas
mengisyaratkan pada kita bahwa terdapat kemanunggalan antara seni dan agama di
Bali. Pentingya pemahaman secara mendalam dan sungguh-sungguh merupakan cara
untuk membedakan antara seni dan agama. Setiap penyelenggaraan yajna pasti ada kesenian dan setiap
pertunjukan kesenian pasti mengandung atau memuat ajaran-ajaran agama. Inilah
inti kemanunggalannya yang harus dipahami secara mendalam. Jadi seni adalah
simbol kebenaran, kesucian, dan keindahan.
Dalam tulisan yang berjudul “Memahami
Konsep Estetika para Kawi” dikarang oleh Drs. Ida Bagus Gede Agastya, dikatakan
bahwa untuk memahami arti seni atau estetika masih memerlukan ketelitian dalam
mensitir ungkapan rasa kagum, atau terpesona para kawi sastra yang terungkap
dalam karya sastranya, seperti kata ‘lango”
dalam bahasa kawi, mempunyai makna yang khas dan sukar diterjemahkan dalam
bahasa lain. Akan tetapi yang ingin digunakan oleh kata itu mungkin lebih tepat
diterjemahkan dengan “rasa terpesona”.
Dalam mencapai rasa terpesona tersebut
maka dasarnya haruslah memiliki unsur kebenaran atau satyam. Satyam dalam pandangan
Agama Hindu tiada lain memuat tentang sumber kebenaran yang berasal dari kitab
suci Veda. Dalam kehidupan umat Hindu di Bali, semua bentuk pelaksanaan yajna, bangunan, dan seni yang bersifat
sakral, pasti mengandung unsur tattwa di dalamnya. Mulai dari dasar hukumnya,
makna pelaksanaanya, fungsinya dan lain sebagainya. Terkait dengan bangunan kemulan rong tiga adapun unsur kebenaran
/ satyam yang termuat di dalamnya
menyangkut:
1.1 Dasar
Hukum Pendirian sanggah Kemulan Rong Tiga
Dalam Lontar Siwa Gama kita jumpai
suatu uraian tentang pendirian dari Hyang
Kemulan atau yang dikenal dengan sanggah kemulan rong tiga itu.
Kutipan tersebut secara singkat mengupas mengenai pendirian sebuah bangunan
suci dalam suatu rumah. Adapun kutipan slokanya antara lain:
“……bhagawan Manohari, Sivapaksa sira, kinwa
kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama,
mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadyadyaning wang saduluking wang
kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing
saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika, mwang kamulan pangunggalnya sowing……”
(Lontar
Sivagama, lembar 328)
Arti kutipan tersebut antara
lain:
Bhagawan
Manohari pengikut Siwa, beliau disuruh oleh Sri Gondrapati, untuk membangun Sad Khayangan kecil, sedang, maupun
besar, yang merupakan beban kewajiban semua orang. Lain kewajiban sekelompok
orang untuk empat puluh keluarga harus membangun Panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus
membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi
harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan yang harus
dibangun pada masing-masing pekarangan (Wikarman,
2011: 4-5).
Dari kutipan
di atas maka sudah sangat jelas bahwa pembuatan sanggah Kemulan Rong Tiga memiliki dasar hukum yang didasarkan atas
pustaka Hindu yang bersumber dari ajaran kitab suci Veda. Setiap keluarga yang
sudah memiliki rumah tersendiri wajib untuk mendirikan sanggah kemulan rong tiga yang merupakan pengejewantahan dari ajara
Siwasiddhanta di Bali. Hal ini juga
di pertegas dalam Pustaka Lebur Gangsa yang dijelaskan ada Praniti / suatu ajaran, bahwa manusia itu dilahirkan sudah membawa
candela, membawa gering (sakit),
membawa kepapaan, membawa hidup dan
pasti akan mati. Karena itu Praniti
itu mengajarkan supaya manusia itu membuat “Sanggar
Kemulan Rong Tiga” tempat memuja Itu (yang berarti asal kemulan). Itu atau Dat yang dimaksudkan Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita dan
memberi kehidupan pada kita (membri amrta)
(Bandesa, 1991:20). Dengan demikian sangatlah penting bagi umat untuk membuat
bangunan suci sanggah Kemulan Rong Tiga sebagai
tempat terdekat dalam melaksanakan pemujaan sebagai ungkapan rasa syukur dan
bakti kehadapan asal muasal dari bhuana
agung dan bhuana alit ini.
1.2 Sanggah Kemulan Rong Tiga Sebagai Stana Sang Hyang Triatma
Kamulan atau
kawitan merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Manusia umumnya dalam
bahasa Bali halus disebut “jatma”
yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan
ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya
(Wikarma, 2011:5).
Beberapa lontar-lontar
seperti Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian dan Purwa Bhumi Kamulan
menjelaskan bahwa sanggah kemulan rong
tiga merupakan asal muasal mulainya suatu kelahiran, sebab kelahiran
kembali (Punarbawa) merupakan hukuman
yang harus dijalani oleh leluhur turun menjelma sebagai manusia kembali.
Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan adalah Sanghyang
Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri. Dalam lontar Usana Dewa
disebutkan :
“Ring
kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang Paratma,
ring kamulan kiwa ibu ngaran sang Sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya,
tu Brahma dadi meme bapa, meraga sang Hyang Tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar
4)
Yang artinya :
Pada sanggah Kamulan
beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada
ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang
Hyang Paratma. Pada kamulan kiri
ibu, disebut Sivatma. Pada Kamulan ruang tengah diri-Nya, itu
Brahman, menjadi purusa pradana,
berwujud Sang Hyang Tuduh/ Tuhan yang menakdirkan (Wikarma, 2011:6).
Dari petikan sloka di atas jelas menyebutkan
bahwa secara umum sanggah kemulan rong
tiga di Bali merupakan tempat untuk menunjukan rasa bhakti kehadapan leluhur yang telah senantiasa melindungi dan
memberikan anugrah kepada keturunanya. Jika disimak lebih jauh maka antara purusa dan pradana memiliki tempat dan kedudukan masing-masing. Purusa sebagai simbol laki-laki di stanakan
di rong sebelah kanan, pradana sebagai simbol perempuan di
stanakan di sebelah kiri dan yang ditengah-tengah merupakan stana Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang. Selanjutnya dipertegas pula berdasarkan Lontar Gong Besi
tentang Sang Hyang Triatma yang
berbunyi sebagai berikut:
“....ngarania
ira sang Atma, ring Kamulan tengen bapanta nga Sang Paraatma ring Kamulan kiwa
ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan Madia raganta, Brahma dadi meme bapa
ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalang raga...”.
Artinya:
Namanya beliau Sang
Atma pada Kamulan sebelah kanan
adalah pelinggih bapakmu bernama Paratma.
Di Kamulan ruang sebelah kiri adalah
linggih Sang Siwatma adalah Ibu, di
Kamulan ruang tengah ada wujudnya Brahman menjadi Ibu-Bapak yang berwujud Sang
Hyang Tunggal (Wikarma, 2011:6).
Berdasarkan
kutipan lontar di atas dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan merupakan tempat
pemujaan terhadap Sang Hyang Atma
yang telah mencapai ke alam kedewataan. Adapun tujuan utama, mengapa roh
leluhur itu distanakan di sana tiada lain, agar keturunannya dapat dengan mudah
menyembah roh suci leluhurnya. Menyembah roh leluhur menurut sastra agama
sangat besar pahalanya. Sebaliknya jika tidak pernah berbakti kepada roh suci
leluhurnya, lebih-lebih tidak menstanakannya, maka keturunannya akan menemui kesengsaraan
(Winanti, 2009:25-26).
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan
disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah
kamulan, seperti disebutkan :
“Riwus
mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah
kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa,
irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni……” (Wikarma, 2011:7)
Yang artinya :
Setelah demikian daksina
perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang
Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci
itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, di sana menyatu dengan
leluhurnya terdahulu.
Dari kutipan ini
jelas menyebutkan bahwa ketika seseorang sudah meninggal dunia dan telah
diupacarai sampai pada upacara atma
wedana, maka roh dari orang tersebut akan di stanakan di kemulan rong tiga. Roh-roh tersebut diyakini dapat memberikan
perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan
bencana. Oleh karena itu untuk menghindari bencana maka leluhur hendaknya dipuja
melalui yajna. Maksud dari pada
pembangunan pelinggih rong tiga dalam
lingkungan keluarga tiada lain agar umat selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dan manifestasinya
dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rna. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu:
·
Dewa Rna
yaitu hutang kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta
yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup
kita. Dari hutang ini munculah konsep dewa
yajna dan bhuta yajna.
·
Pitra Rna
yaitu hutang kepada leluhur, terutama keluarga yang telah merawat dan
membesarkan anak-anaknya hingga menjadi dewasa. Konsep ini memunculkan yajna dalam bentuk manusa yajna dan pitra yajna.
·
Rsi Rna
yaitu hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan ilmu
pengetahuan mengenai agama, sain, kebudayaan dan lain-lain. Ini melahirkan yajna dalam wujud rsi yajna.
Demikian maksud dari pembuatan pelinggih
Rong Tiga dalam lingkungan keluarga
sebagai anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rna itu, yang merupakan yajna dalam kehidupan sehari-hari
(Soeka, 1993:10). Selain itu latar
belakang timbulnya pemujaan Sanggah
Kemulan adalah karena kehidupan beragama masyarakat Bali yang astithi bhakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi atas kemahakuasaannya, sedangkan kemampuan manusia terbatas, oleh karena
itu manusia yang serba terbatas tidak mungkin mampu menjangkau kemahakuasaan
yang tiada terbatas itu sedangkan upaya untuk mendekatkan diri pada
kemahakuasaan bertujuan agar manusia dapat mendayagunakan kepercayaan dimaksud
guna meningkatkan kualitas hidup. Oleh sebab itulah umat Hindu di Bali sangat
kaya akan simbol-simbol ketuhanan sebagai wujud dan bhakti kehadapan Tuhan. Gede Sutaba dalam Bali Purbakala (1989:66)
Sanggah Kemulan berfungsi sebagai tempat penyatuan antara anggota keluarga yang
masih hidup dengan para leluhur yang sudah tidak lagi ada di dunia nyata.
Bentuk Sanggah Kemulan sangat terikat
oleh ketentuan desa kala patra
menyesuaikan keadan ekonomi keluarga dan wangsa dapat dibuat permanen dan juga
sederhana.
Dari
kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa sanggah
Kamulan Rong Tiga yang dipuja adalah
roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak
dan lain sebagainya. Kemudian di bagian tengah rongnya merupakan stana
untuk memuja leluhur yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam
lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahman, yang merupakan
asal muasal adanya manusia di dunia ini.
1.3 Tri Murti Sebagai Dewanya Tri Atma
Kalau kita
renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri
Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih
tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi asal
muasal dari proses penciptaan. Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau
dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka
“atma” dapat dikatakan sebagai jiwa
atau roh yang menghidupi dan menjiwai mahluk hidup. Sivatma adalah sumber atma
di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan
Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Beliau adalah atma
tertinggi. Beliau adalah Tuhan menurut sistem yoga. Beliau adalah identik
dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam Upanisad Beliau digambarkan sebagai
Tuhan Nirguna Brahma. Dalam matram Sapta Omkaratma disebutkan sebagai berikut:
Om
Am Brahma Atmane nanah : (nabhi)
Om
Um Wisnu Antaratmane nanah : (hrdaya)
Om
Mang Isvara Paratmane nanah : (pusuh)
Om
Om Mahadeva Niratmane nanah : (talu)
Om
Om Sada Rudra ati-atmane namah : (brhunadya)
Om
Om Sadasiva nikalatmane namah : (Sivadwadra)
Om
Om Paramasiva Sunyatmane namah : ujung rambut)
Om
Om Atmane namah
Dalam mantram
“Sapta Omkaratma” disebutkan yang
dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antaraatma dewanya Wisnu, dengan
wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan
wijaksaranya Mang. Ketiga dewa
tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta.
Sebagai roh (atma) alam semesta yang
juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Siwa adalah
Tuhan dalam dimensi imanen (sakala),
Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala
(Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siwa dalam
ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau
(Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara”
di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid beliau
terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya
oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).
Oleh karena
Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni
Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala,
Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah
guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja,
seperti dinyatakan :
“ Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam”
Artinya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa
Guru Suci selalu”
Jadi melihat
uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah
Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang
Tri Atma, yang sebagai roh (atma)
alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan
Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa,
Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa
beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa
Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara
Guru/Hyang Guru.
Umat Hindu di
Bali mengenal konsepsi Kemulan Rong Tiga
sebagai pemujaan terhadap Tri Murti,
setelah kedatangan Mpu Kuturan. Beliau menyatukan umat Hindu saat itu yang
terdiri dari enam sekta besar di Bali yang meliputi Agama Shambu, Agama Brahma,
Agama Indra, Agama Wisnu, Agama Bayu dan Agama Kala. Sementara itu Bandesa
(1991:19-20) dalam Pustaka Manusa Yajna diterangkan
bahwa setelah orang itu kawin atau melakukan pesakapan, mewidhi-widhana, lalu membentuk rumah tangga baru, hendaknya mereka
membuat atau membangun sanggah Kemulan
Rong Tiga sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Tri Sakti, jadi ini
memberi pengertian bahwa manusia itu berasal dari Sang Hyang Tri Murti (Brahma,
Wisnu Siwa). Sementara itu puja
mantra yang dilantunkan di Kamulan yaitu Guru Stawa tersebut adalah sebagai
berikut:
“Om
dewa-dewa tridewanam, ri linggatmanam tri purusa sadha nityam, sarwa
jagatjiwatmanam, Om guru dewa guru rupam, guru padyam guru purwam guru
pantaranam dewam, guru dewa sudha nityam”
Terjemahan:
Dewa-dewa tiga dewa, Dewa Trimurti yang ada dalam Lingga
tiga, Dewa Tri Purusa, yang senantiasa suci yang menjiwai segenap isi dunia.
Dewa yang memberi pengetahuan yang memberi wujud, yang memberi bumi tempat
hidup, yang menjadi asal mula, yang merupakan dewa di alam sunyata, dewa yang selalu memberikan tuntunan suci (Winanti,
2009:33).
Di era modern
ini kebanyakan persepsi masyarakat yang berkembang mengenai Rong Tiga adalah
sebagai stana untuk memuja leluhur yang sudah bersih, dan sangat jarang yang
mengetahui selain pemujaan terhadap leluhur, Rong Tiga juga berfungsi untuk
pemujaan terhadap Sang Hyang Tri Murti. Peran sentral dari Kemulan Rong Tiga ini adalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri
kehadapan Ida Bethara Siwa dalam wujud Siwa Guru serta para leluhur yang telah
disucikan.
Secara umum
lazimnya pemujaan Leluhur di Sanggah
Kemulan mengandung makna filosofis yaitu menstanakan Dewa Pitara atau roh leluhur
yang telah mencapai alam kedewaan untuk dipuja pretisentana/keturunannya. Tradisi demikian merupakan ajaran Agama
Hindu yang diterima secara turun-temurun oleh masyarakat Bali. Pemujaan Dewa Pitara ini bertujuan untuk membantu
manusia menuju bersatunya Atma dengan
Paramatma. Lebih jauh Wiana (1989:6)
dalam Keputusan Seminar XV Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu
dalam makalah Upacara Nuntun Dewa Hyang
juga dijelaskan bahwa adanya penyucian terhadap rokh leluhur dan mengenal adanya
pemujaan berjenjang sebelum langsung memuja Ida Sang Hyang Widhi keluarga
terlebih dahulu melakukan pemujaan kepada rokh leluhur yang telah mencapai alam
dewata. Rokh yang telah mencapai alam dewata itu disebut Dewa Pitara. Dewa Pitara
artinya pitara yang telah mencapai
alam dewa. Jadi tujuan ritual dan pada upacara penyucian rokh leluhur ialah
agar leluhur itu dapat diajak kembali ketempat tinggal bersama keluarga yang
masih hidup, ditempatkan di hulu pekarangan rumah (Pemerajan/Sanggah Kemulan)
untuk dipuja dan dimohonkan perlindungannya. Jikalau rokh itu masih dibelenggu
oleh stula sarira dan suksma sarira maka rokh itu belum dapat dipuja di sanggah
kemulan/pemerajan, tetapi jika sudah dilakukan upacara memukur dan sudah
melakukan upacara ngelinggihang Dewa Hyang, maka sudah dapat diyakini sebagai
Dewa atau dewata.
2 Etika Pembuatan Kemulan Rong Tiga ditinjau dari Unsur Sivam
Dalam proses penyampaian ajaran weda
adalah proses yang sangat sulit, oleh karena itu perlu ditempuh dengan jalan
yang strategis melalui pemahaman ajaran weda. Kandungan Veda sangat dalam dan
rumit yaitu unsur tatwa/satyam
(kebenaran), kesucian (sivam),
dihadapi dan dimasyarakatkan dengan proses sundaram
(keindahan). Sivam merupakan simbol
penjabaran ajaran Veda melalui konsep pemahaman nilai-nilai kesucian atau etika
Hindu. Secara umum dalam pembuatan bangunan kemulan
rong tiga juga harus didasarkan atas unsur etika/ tatacara yang sesuai
dengan konsep dan ajaran Veda, sebab untuk membangun suatu kesucian maka cara
yang dilalukan (proses pembuatanya) harus benar. Adapun nilai-nilai Sivam dalam bangunan kemulan rong tiga antara lain:
2.1 Memilih Lokasi Mendirikan Sanggah Kemulan Rong Tiga
Memilih tempat
membangun rong tiga kemulan harus selalu berada di hulu karang. Dalam konsepsi Tri Angga dari pendirian perumahan, maka
sanggah/ pemrajan termasuk bagian Utama Angga. Berdasarkan konsep tersebut maka lokasinya
harus terletak di bagian kaja dan kangin. Memilih lokasi bangunan
merupakan hal pertama yang harus dilakukan, disesuaikan dengan desa, kala, patra daerah masing-masing.
Hal ini dikarenakan tidak disetiap tempat letak dari bangunan suci terletak di
bagian utara dan timur dari rumah pekarangan. Contohnya bisa kita lihat di
kabupaten Buleleng. Pengertian kaja
bagi umat Hindu di Bali adalah berdasarkan pada letak dari gunung, karena letak
gunung di Bali terletak di tengah-tengah, maka sebagian besar masyarakat
Buleleng, Sanggah kemulanya terletak di sebelah selatan perumahan.
Secara umum titik
tolak pengukuran dimulai dari Ersania (Timur
Laut) (Bandesa Tonjaya,1982: 16). Bangunan sanggah
kemulan, ditempatkan pada arah timur laut (Ersanya) dan pekarangan rumah tinggal, tempat ini diyakini sebagai
hulu karena itu disebut utama mandala.
Lokasi ini biasanya paling tinggi dasarnya jika dibandingkan dengan bangunan
lain. Pembangunan Sanggah Kamulan pengukurannya dimulai dan Timur, yaitu batas
tembok penyengker ke Barat sebanyak 7 tampak. Dimulai dari Timur karena Timur
lambang kesucian keutamaan (Suandra, 2000: 17).
Dalam tradisi di
Bali termuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai bangunan
suci adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk.
Tempat-tempat yang ideal untuk membangun tempat suci adalah seperti disebutkan
pada kutipan-kutipan dari Bhavisya Purana dan Brhat Samhita yang secara
sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning
sagara-giri” atau “sagara-giri
adumukha”, tempatnya sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada
lokasi yang ideal tersebut. Menurut keyakinan umat Hindu, letak tempat suci
ditempatkan di hulu, yaitu berpedoman kepada matahari terbit atau letak gunung.
Matahari terbit dan letak gunung diyakini sebagai arah yang suci karena kedua
sumber alam ini diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua mahluk
hidup. Di Bali khususnya, arah hulu itu terletak pada arah timur dan utara atau
disudut timur laut. Di beberapa tempat tertentu, ada pula yang mempergunakan
arah hulu itu menuju jalan atau ke arah sungai.
2.2. Ukuran Tempat Pelinggih Bangunan Sanggah
Kemulan Rong Tiga
Menurut
tradisi, ukuran karang parumahan terdiri dari sikut Satak, Sikut Domas (nista,
madya, Utama) yang luasnya memang cukup memadai, sedangkan mengukurnya
menggunakan ukuran depa, depa agung maupun depa alit. Dengan ukuran karang yang
demikian itu, untuk ukuran palemahan sanggah
kamulan, dapatlah mengambil ukuran
seperti disebut dalam lontar Astakosali, yakni
ukuran “14 depa lawan 13 depa,
pangretannya dwajangaran, umah parhyangan panti paibon, sad kahyangan pangastulan , ika wenang angge” tapi,
dengan semakin terbatasnya tanah untuk pekarangan perumahan, maka sulitlah
untuk mendapatkan tanah seluas ukurang tersebut di atas. Namun, untuk palemahan
yang ukuran sempit , bisa diperkecil, misalnya diperkecil 3 atau 5. Jadi pokok
ukuran untuk palemahan sanggah kamulan
adalah 14 depa lawan 13 depa dengan penghurip
1 hasta musti, untuk pakarangan kecil
bisa diperkecil 3 atau 5.
Sedangkan jarak antara palemahan sanggah kamulan dengan rumah gedong/meten (Bale Badaja) mempergunakan tampak kaki yang memiliki
(pemilik rumah), dengan perhitungan yang jauh pada “Guru” atau “Indra” dari
astawara dengan penghuripan 1 tampak ngandang. Jadi dengan demikian jarak
antara rumah badaja dengan sanggah adalah 3 atau 4 tampak ditambah
1 tampak ngandang.
Selanjutnya,
letak palinggih Kamulan adalah
mengambil bilik jarak 3 tampak ditambah 1 tampak ngandang dari tembok timur. Untuk mendapatkan letak bagi palinggih taksu, adalah dengan jalan
mengukur luas natar/halaman antara bataran Kamulan
dengan piyasan, kalau ada. Sedangkan
letak piyasan juga mempergunakan
perhitungan Guru atau Indra, dari bataran kamulan, selanjutnya dari tengah-tengah jarak antara piyasan dengan kamulan ditarik garis ke “kaja”
dan bertemu dengan hitungan Guru dari
tembok kaja, itulah tempat Taksu.
Sanggah kemulan diyakini paling utama
dan suci, karena stana dan para leluhur yang dimuliakan. Secara konsepsi, sanggah kamulan memakai ukuran tampak
kaki dari pemiliknya yaitu: 11 x 7 tapak,
dengan perhitungan jarak dari utara ke selatan 11 tapak dan jarak dari timur ke barat 7 tapak. Dalam pelaksanaan pengukuran besar bangunan kemulan itu
diwajibkan menggunakan tapak kaki
dari pemiliki rumah, hal ini didasarkan kepada keputusan Sang Hyang Anala yang berbunyi sebagai berikut:
Muwah kengetakna, yan ri kalaning kita ngawe sukat wewangunan tulakakna
ring buana sariranto, para ikang mamet, sakeng rika juga pasuk wetunia, yata
urip lawan patinia, paweh lawan walinia, suksma mwah maring nguni.
Terjemahannya :
Yang patut diingat, pada waktu Anda membuat ukuran
bangunan, ukurlah diri Anda, dari sanalah diambil bagian-bagiannya, sebab dari
sana jugalah keluar masuknya, demikian pula hidup dan matinya, memberi dan
mengembalikannya, pada akhirnya kembali musnah pada asalnya dahulu (Suandra,
1991 : 27).
Pemakaian 7
tampak dari Timur didasari oleh perhitungan Asta Kosala Kosali bahwa Palemahan
memanjang Timur - Barat itu mempunyai arti sebagai berikut: 1 = teka perih, 2 = kwehing bakti, 3 = lwih guna,
4 kwehing perak, 5 = kebrahman, 6 = luihing dana, 7 hayu/ ayu,
8 = stri kalpa, 9 = rajabhaya, 10 kwehing satra, 11 = sugih mas.
(Suandra, 2000: 17 dan Bendesa Tonjaya, 1982: 16). Berdasarkan pedoman
tersebut, maka dipilih dan digunakannya
7 tampak karena 7 berarti ayu / baik dan digunakannya 11 tampak
karena berarti sugih waras. Dari sini
sudah sangat jelas bahwa semua bangunan Hindu di Bali tidak boleh dibuat dengan
sembarangan dan hanya mementingkan keindahan semata. Kaidah-kaidah seni yang
berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks Hindu berbahasa Sansekerta,
yang tentunya diterapkan di dalam
praktik mencipkan karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam,
arsitektur, maupun seni tari dan teater, karawitan dan sastra.
2.3 Caru Pangrwak
Bhuana
Setelah kita
melaksanakan pengukuran palemahan dan
menentukan tempat bangunan, maka palemahan
tersebut diberikan upacara “caru pangrwabhuana”
yang lazim disebut caru ayam brumbun,
dengan sarana ayam brumbun diolah,
dibuat jatah calon, menurut urip
tengah. Kulit, kepala ,sayap, kaki dijadikan bayang-bayang diletakkan di atas “sengkul” delapan lembar pula. Peneknya, penek dananan, nasi manca warna,
di bawah maupun pada sanggah cucuk
digantungi “sujung” berisi tuak arak.
Yang dipangil pada caru tersebut adalah sang bhuta rwak bhuana,sang bhuta kala
dengan “bala”nya semua Sang Bhuta Rwak Bhuana adalah nama lain
dari pada sang Bhuta Manca Warna dan
juga bergelar Sang Bhuta Angga Sakti.
Setelah caru pangrwakbhuana, barulah
dilaksanakan pengukuran menurut ucap
“ asta kosala” kalau sudah benar ukuran ini, lalu tempat bebaturan dan palinggih-palinggih
kamulan, taksu, apit lawang, panglurah diberikan batas berupa patok-patok.
Tanah dalam patok-patok digali “ amusti”
dalamnya. Lubang itu tempat memendem dasar yang dibersihkan terlebih
dahulu.
Adapun aturan dalam
meletakan pendeman dasar yaitu lobang
tempat menanam pendeman dasar digambari Padma Astadala lengkap
dengan Dasaksaranya. Lalu dipersembahkan Pabyakalan, pangreresikan , isuh-isuh,
tepung tawar, lengkap dengan Lis buu. Akan lebih baik juga
dipersembahkan prayascita. Setelah itu dilukat dan bersihkan lubang itu.
1.
Tumpeng Bang gde
adharman 2 (bungkul) atau pras barak,
dagingnya ayam biing (merah) atau
ayam hitam dipanggang, raka-raka,
penyeneng, tatrag, tatebus, canang gagempolan canang geti-geti.
2.
Letakkan bata merah dengan lukisan Badawangnala,
tengah-tengah badawangnala ditulisi aksara
(Ang) dan letakkan batu bulitan dengan ditulisi aksara
(Ang, Ung, Mang).
3.
Di atas bata dan batu bulitan letakkan bungkak nyuh
gading dikasturi airnya dibuang. Di dalamnya ditulisi
(Ong) diisi serta wangi-wangian, seperti dedes lenga wangi, burat wangi, air kumkuman, bunga
serba harum, dan sebuah kwangen kraras dengan uang kepeng 11 keping.
Setelah lengkap isinya dibungkus dengan kain putih,diikat dengan benang putih, dibentuk
sedemikian rupa sehingga menyerupai cili diisi bunga dan sebuah kwangen sebagai muka (prerai).
4.
Disamping klungah
nyuh gading tersebut, di atas bata dan batu bulitan, letakkan sebuah kwangen besar dengan uang kepeng 33
keping.
5.
Disekeliling lubang, persembahkan segehan cacahan, sege bang 9
tanding, lauknya darah mentah, bawang jahe,dengan tetabuhan tuak-arak.
6.
Pada hulu lubang tancapkan sebuah sanggah, dengan
bantennya: sebuah daksina, pras ajuman,
sodaan putih kuning, dagingnya ayam putih betutu, peras dagingnya ayam panggang, canang raka, geti-geti, canang lengawangi, penyeneng, lis, ketipat
kelanan, dengan daging telur sebutir.
7.
Banten
dihadapan yang memuja: sesantun, di
bawah sanggah, gelar sanga, bayuan,
jahitan lis angiyu segehan agung, tetabuhan tuak-arak, biyakawonan, prayascita
1.
Caru Pangrwak Bhuana dan menanam dasar
bangunan adalah upacara peletakan batu pertama sebagai pertanda
dimulainya pembangunan suci kemulan tersebut.
2.4. Melaspas, Makuh dan Nuntun Ngenteg Linggih
Bila
bangunan suci Sanggah kamulan sudah selesai dikerjakan,cmaka dilaksanakan
upacara makuh, melaspas, dan ngenteg linggih menurut nista, madya dan utama. Melaksanakan upacara tersebut harus mencari hari yang
dipandang baik, menurut petunjuk yang akan muput (Sulinggih). Adapun hari baik untuk upacara tersebut adalah:
ü Menurut
Tri Wara: Beteng
ü Menurut
Saptawara: Soma, Budha, Wrespati, dan
Sukra.
ü Menurut
Sangawara: Tulus dan Dadi
ü Menurut
Sasih: Kapat, Kalima, dan Kadasa.
ü Menurut
penggabungan hari dan tanggal panglong: Mertadewa,
Dewa gelayang, Ayu nulus, Dewa mentas, dan bila Purnama sangat baik.
Upacara makuh yang dimaksudkan adalah upacara
untuk memohon agar bangunan menjadi kokoh. Makuh
berasal dari kata bakuh, yang berarti
kokoh. Adapun sarana bebantenannya terdiri dari: satu soroh genap, menurut nista, madya, utama. Penghurip-urip yang
terdiri dari areng kayu yang baunya harum seperti: cendana, majagau, serta
kapur/pamor.
Upacara makuh mendahului upacara melaspas, tepatnya bila bangunan telah
berdiri. Sedangkan upacara melaspas
bertujuan untuk menyucikan/sakralisasi bangunan yang baru selesai tersebut. Upacara/bebantenan
untuk melaspas sanggah kamulan terdiri
dari:
A.
Melaspas
Alit/nista, cukup dipuput oleh Pemangku/Pinandita.
Adapun upacara yang
dipergunakan antara lain :
ü Di
Sanggah Pasaksi atau sanggah Surya: Peras, Ajuman, Suci satu soroh beserta runtutannya.
ü Didepan
bangunan yang baru selesai disediakan dua kelompok upakara: banten pemelaspas beserta runtutannya
dan banten ayaban tumpeng 7 beserta
runtutannya.
ü Pada
dasar bangunan yang baru selesai diisi Pedagingan/Panca
datu, dan canang pendeman.
ü Pada
Janggawari dalam gedong bantennya sama dengan dipesaksi dengan dilengkapi
tikar, kasur, bantal/suci kecil pesuciannya dilengkapi dengan cermin dan sisir.
ü Pada
atap puncak bangunan/Murdha itancapi
beberapa buah orti dari rontal.
ü Nasi undagi,
jenis banten ini diperuntukkan bagi
perabot/alat-alat para undagi,misalnya: serut, timpas, siku-sikuan sebagainya.
ü Pada
halaman/ natar, upakaranya terdiri dari: Byakala,
Prayascita, durmangala, segehan agung, caru ayam brunbun beserta
runtutannya.
ü Sedangkan
di depan Sang muput: Upakaranya untuk
menyucikan dan untuk menghaturkan sesajen: prayascita, pengresikan, dilengkapi pras lis, cecepan, penastaan, tigasan, tetabuhan yaitu tuak, arak, berem,
serta pasepan/padupan.
ü Banten
Arepan terdiri dari: peras, ajuman, daksina, rayunan, tipat kelanan, punia, dan sesari.
B. Melaspas
yang tergolong Madya:
Bila
mengambil melaspas madya maka yang
muput semestinya seorang Sulinggih/Pandita. Bila tingkat ini diambil maka
terdapat penambahan-penambahan dari tingkat nista seperti berikut:
ü Di Sanggah
Pasaksi/ tutuan, ditambah : dewa-dewi, suci dua soroh beserta runtutannya atau
satu soroh pebangkit beserta
runtutannya.
ü Pedagingannya
ditaruh pada sebuah cawan
tertutup/repetan dengan menambah sebuah permata yang bagus.
ü Pada
Jagarawi ditambah suci 2 soroh beserta runtutannya.
ü Dihadapan
Sang Amuja: ditambah eteh-eteh
panglukatan, peras ayuman dengan daksina gede dan suci masing-masing satu
soroh.
ü Di
natar, carunya: pancasanak, dan baik sekali bila ditambah pangeresiganaan.
ü Ditambah
upacara ngenteg linggih, untuk
keperluan upacara ini upakaranya terdiri dari: satu penuntun, dan satu soroh segehan agung.
Selanjutnya ngenteg linggih sebagai rangkaian
upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara mendirikan sebuah bangunan suci,
secara estimologinya ngenteg berarti
menetapkan linggih berarti
menobatkan/ menstanakan. Jadi Ngenteg
Linggih adalah upacara penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya pada pelinggih yang
dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan
segala kegiatan upacara.
3
Perubahan
Bentuk Bangunan Kemulan Rong Tiga ditinjau dari unsur
sundaram
Konsep sundaram merupakan unsur atau nilai keindahan (estetika) dari kreativitas yang
pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani (lango) bagi pembuat karya itu sendiri
dan bagi masyarakat penikmatnya. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu
memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh
dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia tidak dapat
dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai penyeimbang
logika manusia. Keindahan dan seni merupakan penghalus hidup manusia. Tanpa
keindahan, hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai rasa. Oleh
karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai penghalus
rasa dalam kehidupannya. Adapun nilai-nilai sundaram
atau keindahan dalam bangunan kemulan
rong tiga, antara lain:
3.1
Bentuk
Bangunan Kemulan Rong Tiga
Secara umum bentuk bangunan kemulan rong tiga, didasarkan atas
konsepsi Bali “tri angga” yang
menganalogikan semua benda layaknya tubuh manusia dan terdiri dari tiga bagian
yaitu: kepala, badan, dan kaki. Konsep Tri angga dalam bangunan dapat dilihat
dari pembagian bangunan menjadi 3 bagian
secara vertikal yaitu bagain utama angga berupa raab atau atap bangunan
sebagai bagian kepala (paling disucikan). Bagian madya angga berupa pengawak
atau badan bangunan yang terletak di bagain tengah, dan nista angga berupa bebataran
yang merupakan kaki bagi bangunan yang terletak pada bagian bawah.
Konsep Tri Angga digunakan pada
bangunan memiliki fungsi untuk menentukan konsep hierarki ruang yang
menghubungkan antara proporsi sang
pemilik bangunan dengan proporsi suatu bangunan agar terjadi
keseimbangan antar proporsi pemilik bangunan dengan bangunan. Dengan konsep tri
angga yang digunakan pada bangunan nantinya akan memberikan keharmonisan dan
keselarasan antara pemilik bangunan dengan bangunan arsitektur kemulan rong tiga pun dapat dibagi
menjadi tiga bagian utama, yaitu:
(1) Dasar
(bebaturan), yang terbuat dari
pasangan bata merah atau batu alam, sebagai bagian kaki bangunan. Pada bagian
ini dipahatkan berbagai macam ornamen seperti karang manuk, karang hasti, pepatran, dan lain sebagainya.
(2) Ruang
suci (rong), yang terbuat dari bahan
kayu yang diangap baik, sebagai bagian badan bangunan. Dalam lontar
Astakosala-kosali diuraikan kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah:
·
Cendana tergolong kayu prabhu (Utama)
·
Cempaka tergolong kayu arya (utama)
·
Menengen tergolong katu patih (madya)
·
Majagau tergolong kayu demung (madya)
·
Suren tergolong kayu demung (nista)
(3) Atap
(raab), yang struktur utamanya
terbuat dari bahan kayu dan bahan penutup
berupa ijuk.
Diera pesatnya perkembangan teknologi
maka banyak pula alkulturasi budaya yang terjadi di berbagai daerah dalam
modifikasi bangunan Kemulan Rong Tiga. Walaupun
bentuk kemulan dimodifikasi dengan berbagai bentuk akan tetapi esensinya masih
tetap sama. Mulai dari nilai tattwa, sampai pada tatacara pembuatanya masih
tetap menjadi acuan dalam pembangunanya. Hal ini dapat dilihat dari gambar
berikut:
Gambar
1. Bentuk modifikasi Sanggah Kemulan Rong
Tiga
Dari gambar di atas dapat dilihat
perubahan atau modifikasi yang dilakukan dalam pembuatan Sanggah Kemulan Rong Tiga. Namun demikian pada dasarnya bangunan
tersebut tetap berlandaskan pada konsepsi Bali “tri angga” yang terdiri dari tiga bagian yaitu dasar bangunan,
badan bangunan dan atap dari bangunan. Perkembangan ini pada hakikinya tidak
luput dari pengaruh modernisasai sehingga memunculkan berbagai bentuk keragaman
yang sangat unik dari masyarakat Bali. Walaupun bentuk bangunan ini dirancang
sedemikian rupa guna mengurangi biaya pembuatan ukiran atau ornament yang
begitu mahal akan tetapi tidak mengurangi esensi dan nilai bhakti umat
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Tri Murti dan Tri Atma.
3.2
Perubanan
Bentuk Hiasan Bangunan Kemulan Rong Tiga
Dalam
estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan
indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu
adalah sebagai berikut: (1) rupabheda,
artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang
melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya,
seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai
orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya; (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam
penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide
yang dikandung di dalamnya. Misalnya
sebuah pohon dengan bunga- bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan
sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; (3) pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai
konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai
ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan
dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran
yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping
berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola
bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola
bentuk yang sudah ditetapkan; (4) wanikabangga
yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan
warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan
pemakaian warna secara tepat; (5) bhawa
yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan
pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan
jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke
arah perasaan yang dimaksudkan; dan (6) lawanya
berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik
atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan
kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada
penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya (Sedyawati dalam Sumardjo 2000:337).
Bangunan Kemulan secara umum dihiasi dengan
motif-motif seni di Bali. Salah satu keunikan bangunan ini adalah adanya
ukiran-ukiran yang berisi hiasan-hiasan dan motif-motif Bali sehingga
melahirkan suatu bangunan yang unik nan indah.
Motif pada dasanya adalah dasar
warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk;
alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain,
hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75)
Sedangkan tradisional adalah kebiasaan secara turun-tumurun, tentang pandangan
hidup, kepercayaan, kesenian, tarian upacara dsb.
Motif hiasan
atau ornamen merupakan karya seni yang bersumber dari bentuk-bentuk yang ada di
alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia
dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi
manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen). Sedangkan pola
mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu
dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu
dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari
suatu barang yang akan diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007:7).
Kebiasaan
membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turun-tumurun (sudah mentradisi),
oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias tradisional. Dalam
pengertian tradisional bumi terbentuk
dari lima unsur yang disebut Panca
Mahabutha, yakni apah (zat cair),
teja (sinar), bayu (angin), akhasa
(udara), dan pertiwi (tanah
bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk motif
hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika merupakan
dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias
yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang
(fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331).Adapun jenis-jenis
motif hias tradisional Bali tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Motif
Keketusan (geometris), terdiri dari : Kakul-kakulan, Batun timun,
Ganggong, Emas-emasan, Ceracap,
Mute-mutean, Tali ilut dan sebagainya.
b. Motif
tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri dari : Patra Punggel, Patra Samblung, Patra Sari, Patra Olanda, Patra Cina, Patra Wangga dan sebagainya.
c. Motif
Kekarangan, terdiri dari : Karang Gajah,
Karang Guak, Karang Tapel, Karang Boma,
Karang Sae, Karang Bentulu, Karang Simbar dan sebagainya.
Adapun perubahan-perubahan bentuk motif yang mengandung unsur
keindahan dalam bangunan ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
Unsur
keindahan dalam bangunan ini dapat dilihat dari bentuk bangunan yang sangat
unik serta memiliki vibrasi seni yang sangat indah. Walaupun masih sederhana
dan klasik akan tetapi setelah mengalami proses sakralisasi dengan retetan
upacara maka bangunan itu akan memiliki nilai seni atau bisa dikatakan metaksu
dan memunculkan vibrasi yang menciptakan lango.
Kemudian dari bentuk bangunan modern di sebelahnya, tentunya sangat
mencirikan kreatifitas seni di Bali. Kombinasi antara batu, kayu dan ijuk
membentuk suatu kesatuan yang utuh saling terkait. Bagian dasar dirangkai dari
batu alam dengan ukiranya, di bagian badan dirangkai dengan kayu yang diukir
dan dicat prada serta dibagian atap yang dibuat khusus sesuai dengan tatacara
pembuatan bangunan. Hal ini memunculkan suatu vibrasi sivam, dan sundaram yang
sangat dijiwai oleh tattwa atau satyam.